Bisnis.com, JAKARTA — Pertumbuhan kredit perbankan Tanah Air yang kian lesu menjadi perhatian Bank Indonesia (BI). Penempatan dana yang berlebih pada instrumen surat berharga disinyalir mendasari kehati-hatian bank dalam mengerek pembiayaan.
Kredit perbankan per Mei 2025 tumbuh 7,77% secara tahunan (year-on-year/YoY), kian menurun dari posisi akhir 2024 yang sebesar 10,39% YoY.
Gubernur BI Perry Warjiyo menyebut bahwa dari sisi penawaran, hal ini bukan disebabkan oleh masalah likuiditas perbankan. Pasalnya, rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga (AL/DPK) perbankan terbilang tinggi pada kisaran 27%.
“Permasalahannya adalah preferensi bank yang lebih suka menaruh preferensi alat likuid itu pada surat-surat berharga,” katanya dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI, Rabu (16/7/2025).
Menurut Perry, hal ini menandakan bahwa perbankan terlalu berhati-hati dalam mendorong kredit. Alih-alih dialokasikan untuk pembiayaan, ekses likuiditas banyak ditempatkan pada surat berharga.
Oleh karenanya, BI mengimbau agar perbankan dapat bersama-sama menurunkan bunga dan memperbesar penyaluran kredit. Hal ini dinilai sebagai langkah strategis untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Menilik data sementara Statistik Sistem Keuangan Indonesia (SSKI) BI, penempatan dana industri perbankan pada surat berharga mencapai Rp2.266,64 triliun pada Mei 2025. Realisasi itu setara dengan 18,19% dari portofolio penyaluran dana perbankan.
Jumlah kredit yang diberikan pada periode yang sama tercatat sebesar Rp8.103,8 triliun, mencakup 65,03% dari keseluruhan penyaluran dana. Sebanyak Rp752,77 triliun atau 6,04% merupakan dana yang ditempatkan di BI, sejumlah Rp354,76 triliun atau 2,85% dialokasikan di bank lain, sedangkan Rp983,542 triliun atau 7,89% merupakan penempatan lain-lain.
Dibandingkan posisi Desember 2024, alokasi untuk surat berharga itu memang meningkat. Nilai penempatan bank pada surat berharga tercatat sebesar Rp2.222,61 triliun, mencerminkan komposisi 18,12% dari keseluruhan penempatan dana pada akhir tahun lalu.
Sementara itu, penyaluran kredit pada Desember 2024 mencapai Rp7.947,35 triliun, setara dengan porsi 64,78%. Penempatan dana di BI kala itu sebesar Rp858,86 triliun atau setara dengan 7%, penempatan di bank lain sebesar Rp275,05 triliun atau 2,24%, dan penempatan lain-lain senilai Rp964,88 triliun atau 7,86%.
Dua Mata Pisau
Preferensi bank dalam menempatkan dana di surat berharga bak dua mata pisau. Di satu sisi, bank memperoleh kepastian pendanaan dari imbal hasil surat berharga. Di sisi lain, ruang ekspansi kredit dapat tergerus dan berpengaruh terhadap roda perekonomian.
Hal ini diamini oleh Head of Research Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Trioksa Siahaan. Dia menggarisbawahi adanya pertimbangan mitigasi risiko dari perbankan.
“Nilai plus penempatan di surat berharga, terutama milik pemerintah, adalah lebih aman dan tidak perlu membentuk CKPN [cadangan kerugian penurunan nilai] yang besar. Minusnya, intermediasi terhambat dan potensi mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi berkurang,” katanya kepada Bisnis, Kamis (17/7/2025).
Senada, Pengamat Perbankan Moch. Amin Nurdin menilai ketersediaan jenis surat berharga yang berlimpah mulai dari obligasi hingga Surat Utang Negara (SUN) membuat bank cenderung melirik instrumen tersebut.
Pasalnya, bank akan mendapatkan imbal hasil tinggi pada rentang 6% hingga 6,5% per tahun, tanpa harus agresif dalam melakukan ekspansi kredit yang memuat risiko kenaikan rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL).
“Idle fund-nya bisa disalurkan ke surat berharga dibandingkan menyalurkan kredit dengan imbal hasil yang kurang lebih sama,” terangnya.
Namun demikian, hal itu semestinya tak membuat bank mengabaikan pertumbuhan kredit secara berkelanjutan. Trioksa berpendapat bahwa bank dapat menjaga likuiditas dan lebih selektif dalam menyalurkan pembiayaan.
Di samping itu, Amin menekankan bahwa perbankan mesti memfokuskan pembiayaan ke segmen pasar yang aman pada situasi saat ini, baik segmen korporasi, komersial, hingga UMKM. Hal ini akan berdampak pada kualitas aset, profitabilitas, hingga permodalan bank ke depan.
“Bank juga harus mempertimbangkan upaya menjaga NIM [margin bunga bersih], karena itu akan bersinggungan langsung dengan laba. Lebih lagi, saat ini banyak bank yang masih berperang dengan NPL,” tukasnya.