Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom dari PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede memperkirakan kredit perbankan berpeluang tumbuh di kisaran 8,0%–10,0% secara tahunan (year-on-year/YoY) pada 2025.
Josua menyampaikan, dengan potensi upside jika realisasi belanja pemerintah atau penanaman modal makin kencang, maka pertumbuhan kredit pada akhir 2025 diyakini berada dalam rentang tersebut.
“Dalam baseline, saya melihat kredit akhir 2025 berpeluang berada dalam kisaran 8,0%-10,0% yoy, dengan upside jika realisasi belanja pemerintah/penanaman modal makin kencang,” kata Josua kepada Bisnis, Jumat (8/8/2025).
Memasuki paruh kedua 2025, Josua menjelaskan bahwa pertumbuhan kredit terus melaju dari basis 7,77% YoY per Juni 2025, dengan total outstanding mencapai Rp8.060 triliun.
Pendorong utama berasal dari kredit investasi yang tumbuh 12,53% dan kredit konsumsi 8,49% YoY. Sementara itu, kredit modal kerja mencatatkan laju yang lebih moderat di 4,45% YoY.
Dia menuturkan, kondisi likuiditas yang longgar tercermin dari rasio AL/DPK sebesar 27,05% dan LCR sekitar 199%. Kualitas aset pun tetap terjaga, dengan NPL gross 2,22% dan Loan at Risk 9,73%, sehingga memberi ruang bagi perbankan untuk melanjutkan ekspansi kredit secara hati-hati.
Baca Juga
Ke depan, Josua menyebut bahwa bias percepatan didukung pelonggaran suku bunga perbankan yang mulai menurun seiring penurunan BI Rate, serta permintaan yang ditopang program pemerintah seperti Koperasi Desa (Kopdes)/Kelurahan Merah Putih, program tiga juta rumah dan makan bergizi gratis, dan sentimen konsumen yang membaik.
Lebih lanjut, Josua melihat bahwa moto utama kredit pada semester II/2025 akan berfokus pada klaster komoditas serta utilitas, logistik, dan jasa.
Di sisi ritel, Josua menyebut bahwa kredit konsumsi masih ditopang optimisme rumah tangga. Average propensity to consume naik ke 75,4%, sedangkan saving ratio turun ke 13,7%.
“Area yang perlu dicermati yaitu UMKM yang baru tumbuh +2,18% YoY lantaran bank masih fokus pemulihan kualitas, sehingga dorongan kredit ke segmen ini bisa tertahan; serta kredit modal kerja yang lebih lambat dibanding investasi,” pungkasnya.