Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ekonomi Melambat, Bank Siapkan Recovery Plan

Kinerja intermediasi lembaga jasa keuangan Januari 2020 masih berada pada 6,10 persen yoy, naik tipis dari Desember 2019 6,08 persen
Ilustrasi/www.udku.com.au
Ilustrasi/www.udku.com.au

Bisnis.com, JAKARTA - Tantangan ekonomi semakin menantang. Pelaku industri perbankan pun dibayangi oleh setiap risiko yang timbul akibat perlambatan ekonomi tersebut.

Pasalnya, perlambatan ekonomi berdampak pada pertumbuhan fungsi intermediasi yang semakin berat. Jika tak dapat ditanggulangi secara cepat dan tepat, maka potensi penurunan kualitas fasilitas kredit yang telah ditarik oleh debitur bank menjadi semakin tinggi.

Oleh sebab itu, recovery plan yang menegaskan kesiapan bank terhadap setiap risiko menjadi sangat penting.

Sebagai informasi, pertumbuhan kredit pada awal tahun ini masih belum menunjukkan peningkatan. Kinerja intermediasi lembaga jasa keuangan Januari 2020 masih berada pada 6,10 persen yoy, naik tipis dari Desember 2019 6,08 persen.

Tren ini, pada akhirnya, mendorong rasio kredit bermasalah naik 24 basis poin (month-to-month) menjadi 2,77 persen pada awal 2020 ini.

Menanggapi kondisi ini, pelaku industri perbankan telah mendapat izin dari pemegang saham untuk menggunakan recovery plan tahun ini.

Direktur Finance, Treasury & Strategy Bank BTN Nixon L.P Napitupulu mengatakan perseroan menambahkan tujuan recovery plan dalam penerbitan sub debt tahun ini.

Menurutnya, kondisi ekonomi seperti saat ini membuat perseroan harus selalu siap dengan berbagai macam skenario.

"Kami sudah ada rencana penerbitan sub debt tahun ini. Namun, pada rapat umum terakhir kami dapat izin untuk menggunakannya untuk penyerap pencadangan," katanya kepada Bisnis seusai RUPST BTN di Jakarta, Kamis (12/3/2020).

Pada awal tahun ini, emiten berkode BBTN tersebut menerbitkan obligasi subordinasi atau junior global bond senilai US$300 juta.

Hal serupa juga dilakukan oleh PT Bank Mega Tbk. Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) Bank Mega menyetujui pengkinian rencana recovery plan yang telah disampaikan pada tahun lalu.

"Rencana recovery plan ini memuat perubahan pemenuhan kecukupan dan kelayakan instrumen utang atau investasi yang memiliki karakteristik modal yang dapat dimiliki oleh bank sistemik melalui rencana penerbitan instrumen subordinated debt yang akan dilakukan secara penawaran terbatas," demikian pernyataam direksi Bank Mega dalam ringkasan risalah RUPST Bank Mega.

Presiden Direktur PT Bank Pan Indonesia Tbk. Herwidayatmo pun juga meyebutkan perseroan juga tengah mempersiapkan recovery plan untuk menyerap berbagao risiko penurunan kualitas kredit tahun ini.

Hanya saja, dia masih enggan menyebutkan besaran sub debt yang akan diterbitkan dalam rangka recovery plan Bank Panin. "Recovery plan sedang dipersiapkan. Jika diperlukan, kenapa tidak. Kami baru mencermati situasi," katanya.

Semakin Lambat

Rektor Universitas Indonesia Ari Kuncoro mengatakan perlambatan ekonomi pada awal tahun, yang membuat fungsi intermediasi sulit naik, cenderung wajar.

Namun, kondisi ekonomi pada awal 2020 sedikit berbeda lantaran perlambatan ekonomi luar negeri, sentimen negatif dari virus corona, serta kondisi geopolitik yang membuat harga komoditas andalan tanah air sulit naik dan membenai kinerja hingga kualitas kredit.

"Semakin sulit, dan bahkan bisa semakin melambat. Perbankan juga harusnya telah mempersiapkan recovery plan guna menyerap semua risiko tersebut," katanya, Minggu (15/3/2020).

Ari menjelaskan kondisi ekonomi global saat ini tertekan dengan pertumbuhan ekonomi China yang tertekan akibat perang dagang dan perlawanan negara tersebut terhadap virus corona.

Di luar itu, Amerika sendiri telah mulai menunjukkan potensi resesi pada awal tahun ini, sehingga menambah berat pertumbuhan ekonomi dunia, dan Indonesia.

"Jika kedua negara ini mengalami perlambatan ekonomi, maka pertumbuhan ekonomi dan kredit Indonesia pun akan tertekan. Kita adalah adalaheskportir dan importi bagi kedua negara adi daya tersebut," katanya.

Meski demikian, Ari masih berharap gebrakan pemerintah yang cukup baik dalam merespons, yakni dengan melonggarkan sejumlah pajak.

Menurutnya, insentif fiskal yang diberikan akan pemerintah saat ini mampu menjaga daya beli masyarakat agar tetap mempertahankan konsumsinya, dan juga baik bagi perusahaan dalam meningkatkan kas.

Sebagai informasi, stimulus fiskal tersebut berupa pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 yang ditanggung pemerintah untuk karyawan sektor industri, PPh Pasal 22 barang impor, dan PPh Pasal 25 atau PPh Badan untuk industri manufaktur yang ditangguhkan selama 6 bulan.

Di luar itu, Ari menyebutkan tambahan relaksasi dari OJK pun akan berdampak baik bagi bank untuk dapat terus menjaga kualitas kreditnya.

"Jika semua stimulus telah digelontorkan, maka tugas pekerjaan selanjutnya adalah mengelola kepercayaan belanjan masyarakat untuk tetap belanja, sehingga ekonomi, dan kredit perbankan tetap berjalan dengan baik," ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : M. Richard
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper