Bisnis.com, JAKARTA - Lembaga Penjaminan Simpanan dinilai perlu memberikan kebijakan tambahan yakni tidak hanya sebatas pelonggaran denda apabila pembayaran premi penjaminan mengalami keterlambatan.
Ketua Bidang Pengkajian dan Pengembangan Perbanas Aviliani mengatakan kebijakan pelonggaran tersebut merupakan bentuk empati pada industri perbankan yang saat ini sedang melakukan kebijakan restrukturisasi.
Dengan banyaknya debitur yang harus mendapatkan penilaian sebelum direstrukturisasi, waktu bank akan semakin tersita sehingga keterlambatan pengurusan premi penjaminan bisa saja terjadi.
Meskipun kebijakan pelonggaran ini positif bagi bank, lanjutnya, LPS masih memiliki peluang untuk memberikan pelonggaran yang lebih luas. Salah satunya dengan menangguhkan pungutan iuran premi dari dua kali dalam setahun menjadi hanya satu kali setahun di tengah komdisi yang tidak normal.
Aviliani menuturkan, jika diperlukan, kebijakan LPS tidak hanya berhenti pada pelonggaran denda, tetapi tidak memberlakukan pungutan pada semester II nanti. Nantinya, pungutan bisa dilakukan setelah akhir tahun berakhir.
Dengan kondisi tersebut, lanjutnya, dana untuk pembayaran premi bisa digunakan sementara oleh bank untuk mendukung kegiatan operasional. Apalagi, pemerintah mengeluarkan asumsi bahwa kondisi baru akan normal pada April 2021.
Baca Juga
“Kalau perlu setahun saja baru bayar premi, kalau denda, itu kecil tetapi sudah salah satu langkah empati terhadap kondisi ini,” katanya kepada Bisnis, Senin (11/5/2020).
Menurutnya, pelonggaran denda berarti LPS memahami bahwa bank sedang membutuhkan likuiditas karena sedang melakukan restrukturisasi.
Namun, perlu dicatat, pelonggaran denda tidak berarti bank dalam kondisi tidak aman karena kebijakan tersebut sifatnya hanya membantu bank yang waktunya disibukkan dengan restrukturisasi.
“Apalagi saat ini bank sering kali menghitung premi terlambat, jadi kebijakan ini lebih melihat kesibukan bank yang melakukan restrukturisasi pada ribuan debitur tanpa melihat ke lapangan hanya berbekal percaya,” katanya.
Senada, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah mengatakan kebijakan pelonggaran premi merupakan bentuk simpati kepada bank yang sedang dalam tekanan likuiditas. Dengan pelonggaran ini, bank bisa bernapas karena sebagian beban pengeluaran bisa ditangguhkan.
Di sisi lain, LPS juga diuntungkan dari pelonggaran ini karena likuiditas bank dapat terjaga. Hal itu berdampak pada semakin kecil potensi bank yang akan mengalami kegagalan sehingga tidak perlu dilikuidasi.
“Selama bank-bank tidak ada yang dilikuidasi, keuangan atau likuiditas LPS akan aman,” katanya.
Soal perlunya kebijakan lanjutan, Piter menilai hal tersebut bergantung pada seberapa lama pandemi Covid-19 berlangsung. Apabila semakin lama, ada potensi bank yang terlambat membayarkan premi penjaminan lebih dari enam bulan.
Jika itu terjadi, pelonggaran yang lebih tepat selain penghapusan denda keterlambatan adalah penangguhan pembayaran premi. Bank tetap harus membayar premi penjaminan tetapi bisa ditangguhkan beberapa saat jika kondisi likuditas tidak memungkinkan.
Selain itu, penurunan premi penjaminan juga tidak mungkin dilakukan karena berkaitan dengan klaim yang dibayarkan LPS apabila bank bersangkutan mengalami masalah. Pembayaran premi penjaminan dilakukan untuk menjaga stabilitas bank dan manalangi jika terjadi bank gagal.
"Menurut saya pelonggaran yang lebih tepat adalah dalam bentuk penghapusan denda keterlambatan atau penangguhan pembayaran premi, bukan penurunan premi," katanya.