Bisnis.com, JAKARTA -- Risiko kredit industri perbankan meningkat sebagai dampak perlambatan ekonomi di tengah pandemi, dari posisi 2,89 persen pada April 2020 menjadi 3,01 persen pada Mei 2020.
Lantas di sektor mana kredit bermasalah paling tinggi?
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), per Mei 2020 rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) pertambangan meningkat signifikan ke level 5,03 persen.
Posisi kedua dan ketiga, NPL terbesar pada Mei 2020 berada pada sektor pengolahan dan perdagangan dengan masing-masing sebesar 4,39 persen dan 4,32 persen. Rasio NPL sektor perdagangan besar dan pengolahan yang memiliki kontribusi sebesar 34 persen dari total kredit.
Rasio kredit bermasalah secara industri Mei 2020 tercatat sebesar 3,01 persen, naik dari April 2020 yang berada di angka 2,89 persen. Meskipun terjadi peningkatan rasio NPL, risiko kredit masih di bawah threshold.
Sementara itu, berdasarkan bank umum kelompok usaha (BUKU), NPL tertingi masih pada BUKU 2 yakni sebesar 4,04 persen per Mei 2020. Sisanya, yakni BUKU 1 sebesar 3,9 persen, BUKU 3 sebesar 3,01 persen, dan BUKU 4 sebesar 2,76 persen.
Baca Juga
Risiko kredit masih berpotensi meningkat, ditandai oleh pertumbuhan kredit kolektabilitas 2 yang cukup tinggi dan porsi kredit restrukturisasi kolektabilitas 1 yang meningkat signifikan dari bulan sebelumnya.
Saat ini pertumbuhan restrukturisasi kredit terpantau naik signifikan dengan mayoritas merupakan restrukturisasi kolektabilitas 1.
Sebelumnya, Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan ada beberapa bank sudah mulai mengalami kenaikan rasio kredit bermasalah sehingga melemahkan kualitas kredit secara industri.
"Dulu mungkin cuma prediksi, tetapi saat ini sudah terjadi. Ada beberapa bank yang pada Mei, NPL-nya mulai meningkat. Beberapa sektor mulai kena imbas dari pandemi virus corona," katanya dalam rapat bersama Komisi XI, Senin (29/6/2020).
Wimboh berharap pemerintah mulai dapat melonggarkan kegiatan ekonomi dan sosial masyarakat. Jika tidak terjadi pelonggaran, bank tidak dapat melakukan penyaluran kredit sehingga justru semakin membahayakan kualitas kreditnya lebih lanjut.
"Ini hanya bisa dilakukan kalau ada kesempatan masyarakat untuk bisa memiliki keleluasaan kembali dalam melakukan aktifvitas sosial dan traveling. Meskipun harus dalam protokol. Harapannya dapat men-generate pendapatan masyarakat yang menjadi debitur bank," katanya.