Bisnis.com, JAKARTA -- Dalam pidatonya pada pembukaan Indonesia Sharia Economic Festival 2020 secara virtual, Rabu (28/10), Presiden Joko Widodo menyampaikan harapan, “Merger 3 bank Syariah BUMN sebagai upaya membangkitkan ekonomi syariah di Indonesia. Industri keuangan syariah Tanah Air saat ini adalah raksasa yang sedang tertidur. Pemerintah pun memiliki perhatian besar untuk membangkitkan raksasa ini, salah satunya melalui merger bank syariah. Pemerintah memiliki concern besar untuk membangkitkan raksasa ini, salah satunya dengan membangun satu bank syariah terbesar di Indonesia.”
Apakah harapan Presiden akan terwujud? Ini menjadi tantangan bagi manajemen Bank Syariah Indonesia (BSI) setelah resmi diumumkan dan memancing dinamika publik. Salah satunya pernyataan Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Bidang Ekonomi yang juga Wakil Ketua Umum MUI, Anwar Abbas: “Muhammadiyah akan mengalihkan penempatan dananya ke bank yang lebih memperhatikan UMKM. Sebab, hal itu menjadi amanat dan ideologi organisasi. Sementara itu, bank hasil merger ini dinilai akan menjadi sangat besar dan tidak begitu membutuhkan dukungan lagi (Bisnis.com, 16/12).
Hal ini sontak menimbulkan pro dan kontra, sehingga para petinggi BSI melakukan lobi ke PP Muhammadiyah. Lantas, bagaimana agar manajemen BSI bisa memenuhi harapan Presiden? Setidaknya ada empat faktor yang harus diperhatikan oleh para pengambil kebijakan di BSI. Pertama, aspek historis. Muhammadiyah merupakan pendiri bangsa, lahir pada 1912. Kiprahnya dalam bidang dakwah, pendidikan, kesehatan, sosial dan ekonomi tak perlu diragukan. Muhammadiyah (1912), NU (1926) dan PNI (1927) merupakan satu tarikan nafas. Semestinya sebelum BSI terbentuk alangkah eloknya para pengambil kebijakan di BSI melakukan silaturahim ke para pendiri bangsa.
Walaupun itu tak wajib, tetapi sebagai bank syariah yang menjunjung tinggi nilai dan etika Islam, semestinya hal tersebut penting dilakukan. Kita perlu berkaca pada ‘kegagalan’ Program Organisasi Penggerak dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Hal itu karena Muhammadiyah dan NU dan juga PGRI ‘memboikot’ program itu. Setelah ‘diboikot’ barulah Mendikbud bersilaturahim ke PP Muhammadiyah dan PBNU hingga akhirnya ditunda.
Kedua, aspek sosiologis. Jika kita berbicara umat Islam Indonesia, secara sosiologis Muhammadiyah dan NU merupakan representasinya. Di samping sebagai pendiri bangsa, dua organisasi kemasyarakatan Islam terbesar tersebut juga berkiprah nyata di republik ini hingga hari ini. Karena itu, berbicara tentang BSI tapi ‘meninggalkan pemegang saham pendiri bangsa Indonesia’ yang juga merupakan ormas Islam terbesar, tentu mengingkari harapan Presiden.
Seolah-olah ormas Islam hanya sebagai ‘pemadam kebakaran’ atas kasus ekstrimisme beragama atau intoleransi.
Adapun ketika berbicara tentang ekonomi, ormas-ormas Islam seolah-olah dianggap sebagai pinggiran saja. Sungguh ironis!
Ketiga, aspek bisnis. Lazimnya sebuah bisnis, agar bisa menjadi besar maka harus merangkul dan memanfaatkan semua potensi yang ada secara maksimal. Sesuai harapan Presiden, agar BSI bisa menjadi bank syariah terbesar maka potensi tersebut harus dirangkul dan ditempatkan pada posisi yang mulia. Seperti bank memperlakukan nasabah dengan mitra terbesar sebagai nasabah prioritas dengan segala fasilitasnya.
Dengan kepemilikan dana Rp15 triliun dan aset Rp4.000 triliun, pernyataan petinggi Muhammadiyah sangat bisa dipahami. Walaupun pernyataan itu oleh beberapa media di-counter dengan pernyataan berbeda, yang konteks pernyataannya disampaikan pada November 2020 tetapi kemudian dimunculkan kembali. Selain itu juga ada beberapa perlakukan diskriminatif dari bank-bank syariah sebelum merger terhadap rate pembiayaan dan penempatan dana milik Muhammadiyah.
Karena itu, sangat rasional alasan bahwa Muhammadiyah akan mengalihkan penempatan dananya ke bank yang lebih memperhatikan UMKM, karena hal itu menjadi amanat dan ideologi organisasi sesuai dengan semangat teologi Al Maun yang lebih berpihak kepada kaum mustadhafin (wong cilik). Amal usaha Muhammadiyah yang asetnya besar dan banyak saja perlakuan rate-nya berbeda-beda. Bagaimana dengan UMKM?
Keempat, aspek ekonomis. Selama ini banyak amal usaha Muhammadiyah seperti perguruan tinggi, sekolah dan rumah sakit menjadikan bank-bank syariah sebagai payroll dalam pembayaran gaji, honor dan tunjangan bagi dosen, guru dan karyawan, sehingga mereka otomatis menjadi nasabahnya.
Tentu ini sangat ekonomis dan praktis. Cukup mendekati pimpinan Muhammadiyah dan keluar instruksi maka pimpinan amal usaha organisasi itu akan mengikuti instruksi tersebut. Jadi bila BSI mau besar sesuai dengan harapan Presiden, tidak hanya peka syariat tapi juga jangan melupakan hakikat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dalam percakapan di grup whatsapp, mantan pimpinan amal Muhammadiyah menyampaikan: “Bank syariah itu cirinya, kalau kita meminjam ‘bunganya’ tinggi tetapi kalau kita menyimpan imbalannya rendah. Kenapa? Sebab ada bonusnya yaitu masuk surga! Takbir! Takbir!”
*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Rabu (23/12/2020)