Bisnis.com, JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjelaskan mengapa kebijakan restrukturisasi kredit diperpanjang hingga Maret 2023.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana mengatakan ada tiga alasan OJK memperpanjang kebijakan restrukturisasi kredit.
Pertama, menjaga momentum stabilnya indikator kinerja perbankan serta debitur restrukturisasi Covid-19 yang sudah mulai mengalami perbaikan.
"Perpanjangan juga diperlukan dalam mempersiapkan bank dan debitur untuk soft landing ketika stimulus berakhir, untuk menghindari cliff effect," ujar Heru dalam webinar virtual Selasa (7/9/2021).
Kedua, sebagai bagian dari kebijakan countercyclical, diharapkan perpanjangan relaksasi ini dapat menjadi salah satu faktor pendorong yang diperlukan untuk menopang kinerja debitur, perbankan, dan perekonomian secara umum.
Ketiga, memberikan kepastian, baik bagi perbankan maupun pelaku usaha, dalam menyusun rencana bisnis 2022.
"Sengaja kami keluarkan di September supaya para bankir bisa menyampaikan rencana bisnis dengan perhitungan yang matang," jelas Heru.
Perpanjangan restrukturisasi ini pun berlaku bank umum, bank syariah, unit usaha syariah, BPR, dan BPRS yang menyalurkan kredit pembiayaan atau penyediaan dana lain.
OJK pun mencatatkan jumlah restrukturisasi kredit per Juli 2021 yang dilakukan oleh 101 bank di Indonesia sudah menyentuh Rp 779 Triliun. Kebijakan restrukturisasi ini sudah dirasakan oleh 5,1 juta debitur yang terbagi ke sektor UMKM dan Non-UMKM.