Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ini Alasan Fintech Lending Gencar Kolaborasi dengan Perbankan

Pelaku fintech pinjam-meminjam secara digital butuh lender institusi karena dapat melakukan pendanaan dalam jumlah yang lebih besar dengan waktu yang lebih singkat, mempercepat pertumbuhan penyaluran pinjaman, serta sebagai tanda bahwa platform mampu dipercaya.
Ilustrasi teknologi finansial/Flickr
Ilustrasi teknologi finansial/Flickr

Bisnis.com, JAKARTA - Perbankan tampak mulai tergoda dengan potensi industri teknologi finansial (tekfin/fintech) pinjam-meminjam digital sebagai rekanan penyalur likuiditas yang menguntungkan, baik di klaster produktif maupun konsumtif. Di sisi lain, para pemain pun merasa terbantu. 

Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) sekaligus Co-Founder dan CEO PT Investree Radhika Jaya (Investree) Adrian Gunadi menjelaskan bahwa perbankan selaku pendana (lender) institusi sama pentingnya dengan lender retail atau perorangan. 

"Kami rasa lender institusi penting untuk menjaga kestabilan sumber pendanaan bagi para UMKM. Di mana pada umumnya lender institusi dapat melakukan pendanaan dalam jumlah yang lebih besar dengan waktu yang lebih singkat sehingga dapat membantu borrower UMKM untuk segera mendapatkan modal," jelasnya kepada Bisnis, Rabu (6/10/2021). 

Sebagai gambaran, porsi lender institusi di Investree hanya mencapai sekitar 36 persen dari total pinjaman tersalurkan sejak berdiri, sisanya disumbang lender retail. Namun, lender institusi seperti bank BUMN, bank swasta, dan institusi keuangan luar negeri, penting sebagai cerminan Investree sebagai platform yang mampu dipercaya. 

"Kami pun membuka pintu kolaborasi yang sangat lebar dengan berbagai institusi yang ingin mengembangkan aset perusahaan sekaligus mendiversifikasikan portofolio bisnis mereka dengan menjadi Lender Institusi. Terakhir, kami baru saja meresmikan kerja sama dengan Bank Jago dan BPR Lestari Bali," tambahnya. 

Terkini, salah satu penyelenggara teknologi finansial peer-to-peer (P2P) lending klaster produktif teratas ini masih bisa menyuguhkan rata-rata imbal hasil atas pendanaan mencapai 16,7 persen per tahun untuk para lender. 

Founder & CEO PT Amartha Mikro Fintek (Amartha) Andi Taufan Garuda Putra menambahkan bahwa biasanya badan usaha yang 'kepincut' ikut mendanai borrower di Amartha, salah satunya karena ikut memberikan dampak sosial atas komitmen mendorong digitalisasi sektor informal. 

Pasalnya, Amartha mengkhususkan diri melayani borrower di segmen pelaku usaha mikro wanita di pedesaan, yang notabene dianggap berisiko tinggi apabila di-handle secara langsung oleh perbankan dan lembaga keuangan konvensional. 

Inilah alasan Amartha memiliki banyak super lender yang fokus pada dampak sosial seperti Lendable Inc dan Norwegian Investment Fund for Developing Countries atau Norfund. Adapun, BPR biasanya berminat menyalurkan likuiditas dengan tujuan memperbesar pengaruh untuk para pelaku usaha di wilayahnya masing-masing. 

"Umumnya, pendana institusi yang bekerja sama dengan Amartha menggunakan pola channeling dengan nominal komitmen yang beragam. Misalnya, Bank Sulselbar yang baru saja resmi berkolaborasi dengan Amartha, berkomitmen untuk menyalurkan pendanaan Rp100 miliar melalui Amartha, tujuannya untuk ikut mengembangkan UMKM di Sulawesi," ujarnya. 

Taufan mengungkap Amartha memiliki pengalaman sebagai lembaga keuangan mikro (LKM) sebelum bertransformasi menjadi fintech P2P lending. Pengalaman berpartner dengan lembaga keuangan pun telah berlangsung sejak 2017. Terkini, porsi kontribusi pendanaan di Amartha 55 persen berasal dari institusi dan 45 persen dari lender retail.

Terakhir, Co-Founder & CEO PT Mitrausaha Indonesia Grup (Modalku) sekaligus Ketua Klaster Produktif AFPI Reynold Wijaya mengungkap bahwa platform fintech berpotensi menjadi mitra lender institusi untuk berekspansi. 

Sebagai contoh, sekitar 80 persen borrower Modalku didominasi mereka yang bergelut sebagai pengusaha online. Dari 350 borrower UMKM yang diteliti, hanya 27 persen yang pernah meminjam ke lembaga jasa keuangan (LJK) konvensional, termasuk perbankan, namun hanya 59 di antara mereka yang berhasil mendapatkan pinjaman tersebut. 

Artinya, platform P2P lending bisa menjadi mitra untuk mempersiapkan calon-calon 'pelapak online' sebagai nasabah potensial perbankan, yang di masa depan punya kemungkinan sukses dan tentu membutuhkan plafon pinjaman modal kerja dengan nominal lebih besar. 

"Selain itu, tingkat bunga yang bisa didapatkan oleh pendana Modalku terbilang menggoda, baik untuk individu maupun institusi. Secara umum, pendana bisa mendapatkan tingkat bunga hingga 17 persen per tahun tergantung dengan preferensi dan toleransi risiko masing-masing pendana," tutupnya. 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Aziz Rahardyan
Editor : Azizah Nur Alfi
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper