Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ditargetkan jadi Bank BUMN, BSI (BRIS) Dinilai Perlu Mempertebal Modal

Bank Syariah Indonesia dinilai perlu meningkatkan permodalan agar dapat menjadi lokomotif ekonomi syariah.
Nasabah Bank Syariah Indonesia memeriksa buku tabungan seusai membuka rekening di KC Jakarta Hasanudin, Jakarta, Selasa (2/2/2021). Bisnis/Arief Hermawan P
Nasabah Bank Syariah Indonesia memeriksa buku tabungan seusai membuka rekening di KC Jakarta Hasanudin, Jakarta, Selasa (2/2/2021). Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis.com, JAKARTA – PT Bank Syariah Indonesia Tbk. (BRIS) atau BSI pada tahun ini ditargetkan menjadi perusahaan BUMN. Hal ini seiring dengan adanya kesepakatan para pemilik saham dengan Wakil Presiden Ma'ruf Amin dan Menteri BUMN Erick Thohir.

Akan tetapi upaya memperkuat BSI diharapkan tidak berhenti hanya di situ. Bank syariah hasil merger Bank Mandiri Syariah, BNI Syariah, dan BRIsyariah tersebut perlu mempertebal permodalan agar dapat menjadi lokomotif ekonomi syariah.

Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Sulistyo mengatakan penambahan modal BSI merupakan kebutuhan mendasar untuk meningkatkan manfaat bank terhadap ekonomi syariah.

Menurutnya, dengan menjadi bank BUMN, perseroan akan mendapatkan kepercayaan masyarakat untuk menghimpun lebih banyak dana pihak ketiga (DPK).

“Preferensi masyarakat Indonesia itu kalau menabung di bank BUMN merasa lebih aman, apalagi kalau banknya besar,” ujarnya pada Minggu (6/3/2022).

Eko menjelaskan bahwa DPK akan menyokong fungsi intermediasi bank. Dengan likuiditas yang mumpuni, bank akan lebih leluasa menyalurkan pembiayaan ke sektor-sektor potensial.

Sementara itu, pengamat ekonomi syariah Fauziah Rizki Yuniarti mengatakan bahwa dengan menambah modal, BSI akan memiliki bisnis yang lebih luas. Emiten bank dengan kode BRIS ini juga akan lebih mudah mendapatkan dana murah.

“Nah dampaknya ke konsumen, karena dana murah banyak dia [BSI] bisa bikin produk pembiayaan lebih murah. Konsumen diuntungkan kalau bank jadi buku IV,” pungkasnya.

Fauziah menambahkan potensi bisnis BSI juga masih sangat luas. Salah satunya minimnya masyarakat Indonesia yang belum memiliki rekening bank. Ceruk pasar tersebut sangat besar dan belum dioptimalkan oleh bank-bank yang ada saat ini.

Adapun BSI berencana rights issue untuk memenuhi ketentuan batas minimal saham publik sebesar 7,5 persen pada 2022. Mengutip situs BSI, pemegang saham lain dengan kepemilikan kurang dari 5 persen termasuk publik baru menggenggam 7,08 persen saham perseroan.

Rencana penambahan modal lewat penerbitan saham baru telah bergaung sejak tahun lalu. Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo sempat menyebut nilai saham baru yang akan diterbitkan BSI akan mencapai Rp7 triliun.

KINERJA BSI

Berdasarkan kinerja satu tahun pascamerger, BSI telah menunjukan performa positif, baik dari sisi aset maupun kemampuan mencetak keuntungan. Per Desember 2021, laba bersih bank naik 38,42 persen secara tahunan (yoy) menjadi Rp3,03 triliun.

Capaian laba juga tercermin dari rasio keuangan sepanjang tahun lalu. Tingkat pengembalian ekuitas atau return on equity (ROE) BSI meningkat dari 11,18 persen menjadi 13,71 persen. Return on Asset [ROA] juga mengalami perbaikan dari 1,38 persen menjadi 1,61 persen.

Efisiensi BSI juga terjaga. Rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) BSI turun dari 84,61 persen menjadi 80,46 persen. Pada periode yang sama aset BSI juga naik 10,73 persen yoy menjadi Rp265,29 triliun. Hal tersebut disokong oleh penyaluran pembiayaan yang mencapai Rp171,29 triliun atau naik sekitar 9,32 persen yoy.

Jika dirinci, pembiayaan konsumer mencapai Rp82,33 triliun, naik sekitar 19,99 persen yoy, disusul pembiayaan gadai emas yang bertumbuh 12,92 persen yoy. Pada periode yang sama pembiayaan mikro tumbuh 12,77 persen yoy dan pembiayaan komersial naik 6,86 persen yoy.

Pada 2022, ruang gerak BSI untuk menyalurkan pembiayaan masih sangat lebar. Hal ini didukung dengan kualitas pembiayaan atau NPF net perseroan sebesar 0,87 persen.

Selain itu rasio kewajiban penyediaan modal minimum (capital adequacy ratio/CAR) juga cukup tebal atau mencapai 22,09 persen. Pada saat yang sama, likuiditas bank terbilang longgar, dengan posisi financing to deposit ratio (FDR) 73,39 persen.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Dionisio Damara
Editor : Azizah Nur Alfi
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper