Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Literasi Keuangan Rendah, OJK dan Perbankan Pikul Beban Bersama

Simak strategi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Perbankan untuk meningkatkan literasi keuangan yang saat ini masih rendah.
Ilustrasi literasi keuangan digital/Freepik
Ilustrasi literasi keuangan digital/Freepik

Bisnis.com, JAKARTA - Inklusi keuangan di Tanah Air bergerak cepat seiring berkembangnya teknologi digital. Banyak masyarakat sudah terpapar dengan produk keuangan. Sayangnya, hanya setengah dari masyarakat tersebut yang tahu cara menggunakan uang dan bahaya yang mengintainya.

Direktur Literasi dan Edukasi Keuangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Horas V.M. Tarihoran mengibaratkan kondisi literasi keuangan di Indonesia seperti banyak orang berkendara, tetapi hanya sebagian yang menggunakan alat pengaman kepala atau helm. 

“Mereka yang tidak memakai 'helm' ini seperti terpapar risiko keuangan,” katanya kepada lebih dari 50 awak media yang hadir dalam workshop literasi digital. 

Dia mengatakan tingkat inklusi keuangan Indonesia baru mencapai level 76,9 persen pada 2019. Adapun, tingkat literasi keuangan masih relatif rendah di posisi 38,03 persen. Sebanyak 21 provinsi di Tanah Air memiliki tingkat literasi dibawah rata-rata nasional. Bahkan, indeks literasi digital masih 3,49 persen.

OJK sendiri tidak dapat berbuat banyak untuk mendongkrak literasi keuangan dan literasi digital masyarakat, karena keterbatasan anggaran dan sumber daya manusia. Padahal setiap tahunnya, OJK menargetkan dapat meningkatkan level literasi sebesar 2 persen, sehingga pada 2022 diharapkan literasi keuangan minimal berada pada posisi 44 persen.

Horas mengatakan dalam rangka mencapai target dimaksud, OJK telah menyusun Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia (SNLKI) tahun 2021-2025 yang menjadi panduan bagi OJK, pelaku usaha jasa keuangan (PUJK) maupun stakeholder lainnya dalam melaksanakan kegiatan literasi dan edukasi keuangan.

Arah strategi dalam SNLKI 2021 – 2025 disusun berdasarkan 3 pilar program strategis dan diperluas menjadi beberapa program inisiatif serta core action.

“SNLKI 2021 – 2025 juga dilengkapi dengan roadmap yang diharapkan mampu menjelaskan alur pelaksanaan program untuk mencapai tujuan yang diharapkan,” kata Horas kepada Bisnis, Rabu (24/8/2022).

Lebih lanjut, kata Horas, Berdasarkan POJK Nomor 76/POJK.07/2016 Tentang Peningkatan Literasi dan Inklusi Keuangan di Sektor Jasa Keuangan Bagi Konsumen dan/atau Masyarakat, seluruh PUJK termasuk perbankan wajib melaksanakan kegiatan dalam rangka meningkatkan literasi keuangan minimal satu kali dalam satu tahun.

Saat ini terdapat hampir 80 persen PUJK yang telah melaksanakan kegiatan dalam rangka meningkatkan literasi keuangan setiap tahunnya dan menyampaikan laporan terkait pelaksanaan kegiatan dalam rangka peningkatan literasi keuangan tersebut kepada OJK.

Dua dari 80 persen PUJK tersebut adalah PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. atau BNI dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. atau BRI.

Pemimpin Divisi Manajemen Risiko Bank BNI Rayendra Minarsa Goenawan menuturkan perseroan bersinergi dengan regulator baik OJK maupun Bank Indonesia dalam menerapkan perlindungan konsumen. Literasi digital menjadi hal penting, karena masyarakat adalah garda terdepan dan yang rentan diserang oleh peretas.

End user sebagai pemilik data adalah setiap orang yang menggunakan produk sehingga literasi harus ditingkatkan seiring kenaikan inklusi,” jelas Rayendra.

Aturan Bye Laws

Guna memberikan perlindungan bagi nasabah BNI telah memiliki unit yang memantau transaksi nasabah dan menerima laporan pengaduan nasabah dalam 24 jam dalam 7 hari. BNI juga telah menjalankan fungsi fraud detection yang berfungsi mendeteksi aktivitas fraud secara real time.

Tak sampai di situ, BNI juga telah mengikuti aturan Bye Laws yang dirilis oleh Bank Indonesia. Bye Laws merupakan pedoman pelaksanaan pemblokiran rekening simpanan nasabah dan pengembalian dana nasabah dalam hal terjadinya indikasi tindak pidana.

Bye Laws dipergunakan oleh Perbankan untuk keseragaman pelaksanaan dalam praktik Perbankan bagi bank peserta Bye Laws. Tujuan utama dari Bye Laws adalah agar uang hasil kejahatan dapat segera diblokir dan dikembalikan ke nasabah.

Sementara itu, dalam acara terpisah, Direktur IT dan Digital BRI Arga M. Nugraha mengatakan dalam menjaga perusahaan dari serangan siber sekaligus untuk melindungi nasabah, BRI mengidentifikasi seluruh aset yang dimiliki, kemudian melindungi aset tersebut.

“Di sini kami mulai upaya melindungi nasabah,” kata Arga.

Berikutnya adalah deteksi. BRI melakukan deteksi lebih awal untuk mengetahui adanya serangan siber. Sistem monitoring BRI akan mendeteksi adanya anomali. Langkah selanjutnya adalah respons dalam menyikapi jika terjadi sebuah insiden. Langkah terakhir adalah recovery, untuk mengurangi dampak serangan dan evaluasi agar tidak terulang kembali di masa mendatang,

Dari total serangan yang mengincar BRI, kata Agra, diidentifikasi bahwa sebanyak 81,3 persen berupa serangan ke aplikasi, dan 18,6 persen mengarah ke jaringan.

Di luar BRI, industri perbankan memang tidak luput dari serangan siber. Dalam sebuah riset yang dirilis Swiss German University 2022, perbankan menempati urutan ke sembilan dari 10 industri yang rentan diserang peretas.

Kemudian, diperkirakan total kerugian yang ditanggung oleh industri jasa keuangan akibat serangan siber mencapai US$2 miliar selama periode 2004-2021.

Ketua Indonesia Neural Network Society (idNNS) Sampoerna University Teddy Mantoro menyarankan untuk melindungi data, dari sisi nasabah, adalah dengan menjauhkan gawai dari emosi, karena penipu sering memanfaatkan sisi emosi manusia.

Kemudian dia juga menyarankan agar masyarakat belanja di aplikasi yang terpercaya dan tidak sembarangan masuk ke website. Dan password berbeda-beda di setiap platform.

“Saya juga menyarankan agar masyarakat menginstal antivirus sehingga malware yang tidak zero day, masih bisa kita tangani,” kata Teddy.

Tingkat inklusi keuangan yang tumbuh melesat, diiringi dengan nilai transaksi digital yang juga meroket. Bank Indonesia mencatat total nilai transaksi digital per Juli 2022 mencapai Rp4.359,7 triliun, atau naik 27,82 persen. Sayangnya, tingginya pertumbuhan transaksi digital tidak dilengkapi oleh literasi keuangan dan literasi digital masyarakat.

Peningkatan literasi keuangan dan literasi digital pun tidak cukup. Perlu ada penguatan keamanan siber di sisi perbankan. Sehingga pintu hilir dan hulur dan tumbuh kuat bersama.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper