Bisnis.com, JAKARTA — Bank Indonesia (BI) merilis data terbaru terkait perkembangan indikator stabilitas nilai rupiah. Adapun indikator yang dimaksud adalah nilai tukar dan inflasi.
Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono melalui keterangan tertulis melaporkan perkembangan nilai tukar 26-30 September 2022.
Berdasarkan laporan tersebut, BI mencatat nilai tukar per hari Kamis (29/9/2022), rupiah ditutup di level (bid) Rp15.260 per dolar AS, dan dibuka pada level (bid) Rp15.150 per dolar AS pada Jumat (30/9/2022).
Kemudian, yield SBN (Surat Berharga Negara) 10 tahun naik di 7,39 persen pada Kamis (29/9/2022) dan stabil pada level 7,39 persen pada Jumat (30/9/2022).
Sementara untuk yield UST (US Treasury) dengan tenor 10 tahun naik ke level 3,786 persen.
Untuk indikator aliran modal asing pada minggu kelima September 2022, premi CDS (credit default swaps) Indonesia 5 tahun naik ke level 162,63 bps per Kamis (29/9/2022) dari 147,68 bps per 23 September 2022.
Baca Juga
Berdasarkan data transaksi 26 -29 September 2022, non residen di pasar keuangan domestik jual neto Rp8,48 triliun terdiri dari jual neto di pasar SBN sebesar Rp5,38 triliun dan beli neto di pasar saham sebesar Rp3,10 triliun.
Sementara berdasarkan data setelmen sampai dengan Kamis (29/9/2022) (ytd), non residen jual neto Rp158,67 triliun di pasar SBN dan beli neto Rp69,57 triliun di pasar saham.
Adapun Deputi Gubernur Bank Indonesia Dody Budi Waluyo menyampaikan bahwa tren nilai tukar rupiah yang cenderung melemah terutama dipicu oleh penguatan dolar AS.
Dia mengatakan, rupiah yang mencatatkan tingkat depresiasi sebesar 5,2 persen secara year-to-date (ytd) masih lebih rendah jika dibandingkan dengan banyak negara lain di tingkat regional. “Itu semua karena penguatan dolar AS yang menghantam negara lain, termasuk Indonesia. Rupiah dengan depresiasi 5,2 persen itu tetap masih yang paling rendah di regional,” katanya, Kamis (27/9/2022).
Dody mengatakan, BI terus mengupayakan langkah stabilisasi nilai tukar rupiah, terutama melalui strategi triple intervention dan operation twist.
Triple intervensi di pasar valas dilakukan baik melalui transaksi spot, domestic nondeliverable forward (DNDF), serta pembelian/penjualan surat berharga negara (SBN) di pasar sekunder.
Sejalan dengan itu, melalui strategi operation twist, BI masih melanjutkan penjualan/pembelian SBN di pasar sekunder, yaitu dengan meningkatkan daya tarik imbal hasil SBN bagi masuknya investasi portofolio asing melalui kenaikan yield SBN tenor jangka pendek dan kenaikan struktur yield SBN jangka panjang yang lebih rendah.
“Kita akan tetap jaga stabilitasnya, tapi memang tekanannya sedang tinggi. Kita masih terus melakukan langkah stabilisasi dengan strategi triple intervention dan operation twist,” jelasnya.