Bisnis.com, JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan gencar mendorong konsolidasi Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) tahun ini, salah satunya melalui penerbitan regulasi baru. Di sisi lain, BPRS telah mencatatkan kinerja keuangan yang moncer, baik dari sisi pembiayaan hingga pendanaan pada tahun lalu.
Salah satu cara terbaru dari OJK untuk mendorong konsolidasi BPRS adalah dengan menerbitkan aturan baru yakni Peraturan OJK (POJK) Nomor 26 Tahun 2022 tentang BPRS.
POJK BPRS baru itu merupakan penyempurnaan dari POJK Nomor 3/POJK.03/2016 tentang BPRS. Terdapat berbagai penyesuaian ketentuan operasi BPRS dalam regulasi baru itu. OJK misalnya mengatur mengenai zona pendirian BPRS hingga menambah persyaratan modal disetor.
OJK menyebutkan bahwa POJK BPRS baru itu dibuat dengan menekankan pada penguatan kelembagaan untuk mendukung program konsolidasi industri perbankan syariah. "Menciptakan proses perizinan BPRS yang lebih efektif dan efisien serta menghadirkan BPRS yang lebih tertata dan kuat," kata OJK dalam keterangan tertulisnya, Senin (9/1/2023).
Seiring dengan tuntutan konsolidasi itu, BPRS ternyata mencatatkan kinerja keuangan yang moncer. OJK mencatat bahwa hingga saat ini jumlah BPRS di Indonesia mencapai 167. Berdasarkan Laporan Profil Industri Perbankan Indonesia yang dirilis OJK, aset BPRS tercatat naik signifikan 18,39 persen secara tahunan (year on year/yoy) menjadi Rp18,97 triliun per kuartal III/2022.
Dana pihak ketiga (DPK) BPRS juga tumbuh 18,02 persen yoy menjadi Rp12,73 triliun per September 2022. Dari sisi penyaluran dana, BPRS telah mencatatkan peningkatan pembiayaan 21,81 persen yoy menjadi Rp14 triliun.
Baca Juga
BPRS mencatatkan rasio permodalan atau capital adequacy ratio (CAR) yang cukup solid, yakni 23,73 persen per kuartal III/2022. Rasio CAR BPRS tersebut cukup tinggi untuk dapat menyerap potensi risiko yang dihadapi.
Sementara itu, efisiensi BPRS tecatat membaik, tecermin dari beban operasional terhadap pendapatan operasional atau BOPO yang turun 130 basis poin (bps) per September 2022 menjadi 86,51 persen.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae juga mengatakan bahwa BPR dan BPRS memang merupakan lembaga jasa keuangan yang dibutuhkan oleh masyarakat, terutama masyarakat kecil serta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Namun, saat ini keberadaannya kurang efisien.
“Jadi, penanangannya butuh langkah-langkah yang tersusun dan sistematis,” ujarnya dalam Rapat Dewan Komisioner (RDK) OJK pada pekan lalu (2/1/2023).
Sebelumnya, Kepala Kantor OJK Regional 1 DKI Jakarta & Banten Roberto Akyuwen mengatakan bahwa BPR dan BPRS di Indonesia menghadapi sejumlah tantangan. Selama pandemi Covid-19, BPR dan BPRS menghadapi seretnya likuiditas. Seiring dengan relaksasi yang diberikan regulator, keduanya mampu bangkit dan perlahan pulih.
“Ketika memasuki fase pemulihan, tantangannya adalah membangkitkan dari sisi permintaan. BPR dan BPRS pada umumnya masih kokoh, tetapi tanpa adanya permintaan dari sisi pembiayaan dan pihak-pihak yang mau menempatkan dana, maka bisnisnya akan menghadapi kendala,” ujarnya.
Staf Ahli Direksi Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Mulya E. Siregar juga menuturkan bahwa BPR dan BPRS harus pandai berinovasi untuk menelurkan produk yang dibutuhkan oleh masyarakat. Akan tetapi, hal ini perlu diimbangi dengan kedewasaan.
“Kedewasaan bank ini sangat diharapkan yakni kemampuan risk management untuk melakukan mitigasi risiko. Itulah yang harus dilakukan oleh bank,” ujar Mulya.