Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Fikri C. Permana

Ekonom KB Valbury Sekuritas

Lihat artikel saya lainnya

OPINI : Momentum Positif Ekonomi Domestik

Tren suku bunga tinggi dan sulitnya menurunkan inflasi ke tingkat pre-pandemi, setidaknya menjadi dua tantangan utama yang dikhawatirkan.
Ilustrasi suku bunga perbankan./ Dok. Freepik.
Ilustrasi suku bunga perbankan./ Dok. Freepik.

Bisnis.com, JAKARTA - Proyeksi terakhir dari berbagai lembaga internasional cenderung menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global mereka.

Misalnya saja World Bank dalam laporan Global Economic Prospects edisi Juni 2023 melakukan revisi ke atas 0,4% ekspektasi pertumbuhan ekonomi global mereka ke angka 2,1% (year-on-year/YoY).

Sebelumnya, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) turut melakukan revisi ke atas 0,1% ke angka 2,7% (YoY), walaupun pada April lalu International Monetary Fund menurunkan skenario ekspektasi pertumbuhan ekonomi global mereka sebesar 0,1% ke angka 2,8% (YoY).

Tren suku bunga tinggi dan sulitnya menurunkan inflasi ke tingkat pre-pandemi, setidaknya menjadi dua tantangan utama yang dikhawatirkan oleh berbagai lembaga internasional diatas.

Selain itu, kekhawatiran banking collapse yang terjadi di Amerika Serikat dan Uni Eropa, serta isu debt ceiling yang berkembang sejak Maret lalu turut memberikan kekhawatiran tambahan terkait belum stabilnya prospek keuangan global.

Apalagi dua isu terakhir juga turut diikuti dengan tambahan stimulus USD4 triliun yang akan membanjiri pasar global dalam beberapa waktu mendatang.

Karenanya, jangan heran bila berbagai paksaan yang dilakukan agar pasar tenaga kerja dan pasar perumahan kembali “jinak” tampaknya sulit untuk tercapai dalam waktu dekat, begitupun dampaknya dalam memaksa inflasi kembali turun, dan malah mendorong kenaikan terminal Fed Rate 25 basis points (bps) tambahan ke 5.25% hingga 5.50% .

Sebaliknya, di saat yang sama, kita dapat lihat rilis data-data fundamental ekonomi Indonesia malah menunjukkan kondisi yang baik dan cenderung mencerminkan arah pemulihan yang lebih cepat. Misalkan saja, pertumbuhan ekonomi Indonesia di tiga bulan pertama 2023 mencatatkan nilai 5.03% (YoY).

Diantara negara-negara G-20, nilai tersebut hanya kalah dari India yang berada di angka 6.1% (YoY) di periode yang sama. Bahkan dengan catatan bahwa nilai tersebut masih bisa tumbuh lebih tinggi dan persisten, dengan indikator Indeks Keyakinan Konsumen yang terus berada di zona optimis sejak September 2021.

Begitupun dengan neraca dagang, sebagai salah satu dorongan pertumbuhan ekonomi dari sisi Pengeluaran, yang selalu mencatatkan surplus dalam 36 bulan terakhir.

Di sisi lain, inflasi headline (atau konsumen) di bulan Mei pun sudah kembali berada di target indikatif Bank Indonesia (BI) yakni di angka 3% (±1%, YoY), lebih cepat dari perkiraan mayoritas ekonom.

Merujuk pada angka tersebut, tentunya ruang BI untuk melakukan pivot atau penurunan suku bunga acuan BI7DRRR bisa dilakukan lebih cepat dibanding bank sentral global lainnya, khususnya di Negara maju.

Apalagi rupiah pun turut menunjukkan performa yang cukup baik, dengan terus stabil antara Rp14600 per USD hingga Rp15.600 per US$ sejak awal 2023.

Walaupun begitu, perlu disadari bahwa fundamental ekonomi Indonesia yang sangat baik tersebut masih menyisakan hal-hal yang bisa menjadi sumber volatilitas bagi perekonomian domestik, khususnya berasal dari kondisi global.

Pertama, perubahan arah Kebijakan Moneter Global yang mungkin masih terjadi. Sebagaimana kita ketahui, The Fed dibawah Jerome Powell sering memberikan kejutan-kejutan kebijakan yang membuat perubahan sentimen serta aliran modal global dalam waktu cepat. Di samping sentimen kenaikan suku bunga yang diperlihatkan oleh Bank Sentral Australia (RBA) dan Bank Sentral Kanada (BoC) di minggu kedua Mei.

Terlebih, interest rate differential antara Fed Rate dan BI7DRRR makin mengecil ke angka 50 bps pada saat ini. Untungnya yield spread antara Surat Utang Negara (SUN) 10 tahun dengan US Treasury note (UST) masih terjaga di atas 250 bps, sehingga dianggap menarik dan mampu mendorong capital inflow ke instrumen SUN sebesar Rp67,2 triliun (hingga akhir Mei 2023, year-to date, YtD).

Disamping itu, fluktuasi harga komoditas. Hal ini seiring dengan besarnya ketergantungan Indonesia pada ekspor berbasis komoditas mentah, misalnya saja batubara, minyak kelapa sawit (CPO), karet, dan bijih nikel.

Karenanya, tidak hanya kinerja ekspor yang dikhawatirkan tertekan, tetapi juga berdampak pada fundamental rupiah, serta kondisi penerimaan pemerintah, di samping juga akan memengaruhi sentimen investor di level perusahaan pada emiten terkait.

Sehingga kebutuhan penggunaan local currency transaction, termasuk regional payment connectivity di Asean, tentu diharapkan mengurangi kekuatiran instabilitas rupiah, walaupun belum akan menjawab semua risiko yang ada.

Bahkan dengan catatan, pengurangan produksi dan supply minyak yang dilakukan Arab Saudi sebesar 1 million barrel per day (mbpd) di Agustus mendatang yang bisa saja mengerek harga minyak dunia dan berdampak pada nilai impor Indonesia yang juga meningkat.

Selanjutnya, risiko politik dalam negeri jelang Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden di Februari mendatang. Disamping juga adanya kepentingan antar faksi di ranah geopolitik global yang bisa saja memanfaatkan kondisi tersebut guna kepentingan masing-masing. Apalagi kondisi global masih dipenuhi dengan kekhawatiran perang Rusia-Ukraina dan melambatnya perekonomian AS, China, dan Eropa.

Karenanya, berbagai hal perlu dilakukan segera guna menghindari risiko-risiko global yang bisa saja menjadi sumber volatilitas bagi ekonomi domestik.

Misalnya saja investasi dalam bentuk infrastruktur dan inovasi. Bagaimanapun, dengan bonus demografi yang dimiliki Indonesia, tentunya social capital berbentuk pengetahuan dan budaya merupakan hal yang bisa menjaga ekonomi domestik.

Merujuk pada yang terjadi pada 2020 dan 2021, saat investor Asing berbondong-bondong keluar dari pasar keuangan Indonesia, baik di IHSG dan pasar SBN, malah investor domestik yang kembali menggairahkan dalam negeri dan menjaga stabilitas di pasar keuangan.

Di samping itu, dengan predikat sebagai penduduk muslim terbesar, jika dimanfaatkan dengan baik tentunya turut diharapkan dapat menjadi pendorong sisi konsumsi, investasi dan tentunya bagi pasar keuangan domestik. Apalagi berbagai produk inovatif di pasar keuangan mulai dikembangkan di Indonesia, sebut saja misalnya Cash-Waqf Linked Sukuk (CWLS).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper