Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan saat ini kondisi tenaga kerja Indonesia tengah terjebak dalam sektor jasa yang cenderung memiliki nilai tambah yang rendah.
Dirinya menyampaikan bahwa meski komposisi ekonomi Indonesia telah menyerupai negara maju, namun Indonesia belum dapat menangkap sektor jasa yang berkualitas tinggi dan bernilai tambah.
“Ekonomi Indonesia perlu bertransformasi, saat ini kita terjebak pada sektor jasa yang mendominasi perekonomian, sektor jasa atau informal masih bernilai tambah rendah,” ujarnya dalam Indonesia-EU Investment Summit 2023, Kamis (30/11/2023).
Dalam paparannya, Sri Mulyani menunjukkan bahwa sektor jasa memiliki kontribusi terbesar terhadap produk domestik bruto (PDB), yakni 54,4%. Sementara pertanian sebesar 12,3% dan manufaktur di angka 20,5%.
Untuk itu, perlu dilakukan transformasi agar sektor jasa dapat memberikan nilai tambah dan berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Berbeda dengan sektor manufaktur, di mana pemerintah terus melakukan hilirisasi untuk memberikan nilai tambah terhadap komoditas yang akan diekspor.
Baca Juga
Sejak 2014 hingga 2020, lanjut Sri Mulyani, nilai ekspor sektor manufaktur telah melonjak dari US$176 miliar menjadi US$292 miliar.
Produk besi baja mengalami kenaikan fantastis hingga 48,96% pada periode tersebut, dari hanya US$1,1 miliar menjadi US$27,8 miliar.
Mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS), komposisi pekerja sektor informal sebanyak 59,11% sementara sektor formal 40,89% dari total jumlah penduduk bekerja 139,85 juta orang per Agustus 2023.
Meski sektor informal mendominasi, pertumbuhan pekerja sektor formal terus terjadi sejak Agustus 2020, utamanya didorong oleh meningkatnya pekerja dengan status buruh/karyawan/pegawai.