Bisnis.com, JAKARTA – Bank Indonesia (BI) meyakini posisi cadangan devisa, yang anjlok senilai US$10,2 miliar atau setara Rp160 triliun (Rp16.078 per dolar AS) dalam empat bulan terakhir, akan meningkat kedepannya.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyebutkan peningkatan cadangan devisa akan terjadi seiring dengan mulai masuknya aliran modal ke pasar saham dan Surat Berharga Negara (SBN).
“Kami perkirakan dengan inflow, dengan stabilitas nilai tukar, akan meningkatkan cadangan devisa ke depan. Kami akan memastikan cadangan devisa akan naik,” tuturnya, dikutip Kamis (9/5/2024).
Pada dasarnya, dia mengatakan cadangan devisa menjadi salah satu instrumen milik bank sentral untuk melakukan stabilitas nilai tukar rupiah. Sebagaimana diketahui, rupiah dalam satu bulan terakhir melemah hingga tembus Rp16.200 per dolar Amerika Serikat (AS).
Sementara saat ini, rupiah telah menunjukkan tren penguatan menuju Rp16.000 per dolar AS yang diikuti dengan masuknya aliran modal, termasuk asing, yang masuk selama dua pekan Mei 2024 mencapai Rp22,84 triliun.
“Cadangan devisa akan naik saat terjadi inflow dan surplus neraca perdagangan yang besar dan tentu saja akan turun kalau memang terjadi outflow dan melakukan stabilisasi rupiah. Tetapi kami pastikan jumlah cadev akan lebih dari cukup,” jelas Gubernur BI yang menjabat dua periode tersebut.
Baca Juga
Sementara per April 2024, dengan posisi cadangan devisa di angka US$136,2 miliar ini setara dengan 6,1 bulan impor. Bila melihat ketetapan standar nasional, cadangan devisa minimal setara dengan 3 bulan impor.
Perry pun meyakini cadangan devisa Indonesia pada bulan berikutnya akan naik dan lebih dari cukup dari angka minimal.
Berdasarkan data yang BI rilis, tren penurunan cadangan devisa RI telah terjadi sejak awal 2024, meski sempat mengalami kenaikan pada periode akhir 2023.
BI mencatat posisi cadangan devisa Indonesia senilai US$146,4 miliar pada akhir 2023. Pada akhir April, cadangan devisa senilai US$136,2 miliar atau turun US$10,2 miliar.
Di mana penurunan posisi cadangan devisa tersebut antara lain dipengaruhi oleh pembayaran utang luar negeri Pemerintah dan kebutuhan untuk stabilisasi nilai tukar rupiah.
Upaya stabilisasi nilai tukar rupiah tersebut seiring dengan dengan peningkatan ketidakpastian pasar keuangan global.