Bisnis.com, JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat bahwa laba bersih bank umum mencapai Rp126,52 triliun per semester I/2024, tumbuh 5,46% secara tahunan (year-on-year/YoY) dari posisi Rp119,97 triliun. Namun, terjadi penyusutan pada laba kelompok bank pembangunan daerah (BPD).
Mengutip Statistik Perbankan Indonesia (SPI) Juni 2024 pada Jumat (6/9/2024), BPD membukukan laba Rp6,82 triliun, minus 5,41% dari perolehan per Juni 2023 sebesar Rp7,21 triliun.
BPD finis di belakang kelompok bank lain seperti bank asing, bank swasta, hingga bank BUMN dalam perolehan laba bersih pada enam bulan pertama 2024.
Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Moch Amin Nurdin menjelaskan bahwa terdapat banyak faktor yang mempengaruhi penurunan laba bank daerah tersebut. Secara umum, masalah pertama terletak pada pemodalan bank daerah yang mayoritas menempati Kelompok Bank berdasarkan Modal Inti (KBMI) 1 dan 2.
“Beberapa di antaranya masih struggle untuk meningkatkan modal utamanya. Mereka harus berjuang supaya memenuhi standar yang ditetapkan oleh regulasi,” katanya saat dihubungi Bisnis, dikutip Jumat (6/9/2024).
Menurutnya, di samping penambahan modal dari pemegang saham pengendali (PSP), situasi itu dapat diatasi dengan pembentukan Kelompok Usaha Bank (KUB).
Baca Juga
BPD cilik dapat menginduk kepada bank lain dengan modal lebih besar sebagai anchor bank, sehingga dapat menerima penyertaan modal untuk ekspansi.
Masalah berikutnya, lanjut Amin, terletak pada risiko kinerja yang dihadapi oleh BPD. Dia menyebutkan, BPD masih banyak berhadapan dengan rasio kredit macet alias non-performing loan (NPL) yang tinggi, sehingga mesti berjibaku untuk memperbaiki keadaan penyaluran kredit.
Dirinya lantas menyoroti pangsa pasar kredit bank daerah yang terbatas pada segmen tertentu, seperti aparatur sipil negara (ASN). Menurutnya, hal itu berdampak pada pertumbuhan kredit yang cenderung stagnan.
“Karena pertumbuhannya mungkin segitu-gitu saja kalau mereka hanya mengandalkan kemampuan di wilayah masing-masing melalui kredit konsumtif kepada ASN. Itu kan sudah given,” tutur dia.
Amin berpendapat, BPD dapat berinovasi dengan melakukan sejumlah langkah seperti digitalisasi layanan hingga merambah kredit produktif. Dengan demikian, bank daerah dapat mendongkrak laba di luar sektor utama.
“Terakhir adalah masalah tata kelola. Beberapa [BPD] masih perlu pengurus atau manajemen yang lengkap. Tata kelola harus diperbaiki, sehingga nanti sesuai dengan keinginan regulator dan memudahkan bank untuk menjalankan semua strategi bisnis atau aspirasi para pemegang saham,” tandasnya.
Adapun, di luar penyusutan laba bersih yang dialami kelompok BPD, bank pelat merah atau bank BUMN masih menguasai porsi terbesar dalam perolehan laba bersih perbankan nasional hingga paruh pertama 2024.
Data OJK menunjukkan bahwa kelompok bank persero mencetak laba bersih sebesar Rp65,03 triliun sepanjang semester I/2024, naik 6,68% dibandingkan periode sama tahun sebelumnya dengan nominal Rp60,96 triliun. Kelompok ini pun mendominasi raupan laba bersih industri secara keseluruhan dengan persentase 51,4%.
Di bawah bank BUMN, terdapat bank swasta yang membukukan laba Rp46,83 triliun pada paruh pertama 2024, tumbuh 2,61% dari posisi Rp45,64 triliun pada Juni 2023. Laba bank swasta menguasai 37,01% perolehan laba perbankan nasional pada semester I/2024.
Kelompok kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri alias bank asing bertengger di urutan berikutnya dengan raupan laba Rp7,13 triliun per Juni 2024, sekaligus mencatatkan laju pertumbuhan dobel digit (15,75%) dari level Rp6,16 triliun pada tahun sebelumnya. Adapun, bank asing menempati porsi 5,64% dari keseluruhan laba perbankan nasional pada semester I/2024.