Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Utang Warga RI ke Paylater Naik Kencang, Gaya Hidup atau Kebutuhan?

Ekonom dan Direktur Ekonomi Digital Celios Nailul Huda mengungkap penyebab piutang paylater masih kencang di tengah penurunan daya beli.
Ilustrasi seseorang menggunakan fitur paylater. Dok Freepik
Ilustrasi seseorang menggunakan fitur paylater. Dok Freepik

Bisnis.com, JAKARTA — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat piutang pembiayaan dengan skema Buy Now Pay Later (BNPL) atau paylater oleh perusahaan pembiayaan per Agustus 2024 mencapai Rp7,99 triliun.

Angka tersebut meningkat cukup signifikan, yaitu sebesar 89,20% secara tahunan (year on year/yoy) apabila dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya. 

Sementara, tingkat kredit bermasalah dilihat dari nonperforming financing (NPF) gross dalam kondisi terjaga yakni posisi 2,52% per Agustus 2024. Angka tersebut turun apabila dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya pada Juli 2024 yakni 2,82%. 

Ekonom dan Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengungkap penyebab piutang paylater masih kencang di tengah penurunan daya beli. Menurutnya ketika pendapatan masyarakat menurun, bahkan hilang karena pemutusan hubungan kerja (PHK), tetapi kebutuhan tetap ada bahkan meningkat. 

“Saya rasa memang masyarakat akan cari pembiayaan yang cocok bagi karakteristik masing-masing penduduk. Daya beli mereka menurun namun di satu sisi kebutuhan mereka tetap ada, bahkan meningkat,” kata Huda saat dihubungi Bisnis, Kamis (3/10/2024).

Huda mengatakan bagi masyarakat yang tidak bisa mengakses perbankan, karena tidak mempunyai data historis keuangan yang bagus, mereka akan mengandalkan pembiayaan alternatif. Salah satu yang banyak digunakan adalah pinjaman dengan skema paylater. 

“Bagi mereka, ya pemenuhan kebutuhan kan sudah seharusnya dipenuhi, salah satu caranya menggunakan BNPL. Maka dari itu, terjadi kenaikan BNPL saat ini. PHK terjadi besar-besaran, daya beli masyarakat tengah melemah,” katanya. 

Huda menyinggung terkait dengan aturan paylater yang mana masih dalam tahap kajian oleh regulator. Adapun beberapa poin yang dikaji oleh regulator antara lain persyaratan perusahaan pembiayaan yang menyelenggarakan kegiatan BNPL, kepemilikan sistem informasi, perlindungan data pribadi, rekam jejak audit, sistem pengamanan, akses dan penggunaan data pribadi, kerja sama dengan pihak lain, serta manajemen risiko.

Menurutnya, untuk aturan paylater, idealnya harusnya sudah mengacu ke Undang-undang yang berlaku. 

“Ketika sudah ada UU Perlindungan Data Pribadi, ya sudah sewajarnya pengaturan BNPL juga mengacu ke sana. Soal perlindungan data pihak ketiga, hingga penggunaan data pribadi. Idealnya mengacu ke UU PDP, termasuk aturan pidana soal kebocoran data pribadi,” ungkapnya.

Paylater Perbankan

Tidak hanya paylater dari perusahaan pembiayaan, OJK juga melaporkan bisnis paylater yang dijalankan industri perbankan terus mencatatkan pertumbuhan tinggi hingga Agustus 2024.

Porsi produk kredit paylater bank tercatat sebesar 0,24% dibandingkan dengan total kredit, sama dengan angka pada bulan sebelumnya. Namun, terdapat peningkatan signifikan pada baki debet dan jumlah rekening.

“Per Agustus 2024, baki debet kredit BNPL tumbuh 40,68% dari Juli 2024 sebesar 33,66%, menjadi Rp18,38 triliun,” demikian dikutip dari keterangan resmi OJK, Selasa (1/10/2024).

Pertumbuhan signifikan juga terjadi dari sisi jumlah rekening. OJK mencatat total jumlah rekening paylater bank sebanyak 18,95 juta hingga bulan kedelapan tahun ini, bertambah dari bulan sebelumnya sebanyak 17,9 juta rekening. 

Tren itu beriringan dengan penurunan risiko kredit BNPL perbankan. OJK mencatat risiko kredit BNPL bank turun tipis dari level 2,24% pada Juli 2024 menjadi 2,21% pada Agustus 2024.

Dalam Roadmap Pengembangan dan Penguatan Perusahaan Pembiayaan 2024–2028, OJK mewaspadai adanya risiko di balik perkembangan pesat industri paylater.

OJK menyampaikan bahwa saat ini industri jasa keuangan yang menyediakan paylater semakin kompetitif. Sebab, selain perusahaan pembiayaan, sektor perbankan juga ikut mengeluarkan produk serupa yang menawarkan opsi bagi nasabah.

Menurut OJK, kondisi seperti ini memicu inovasi dan persaingan dalam menawarkan kondisi yang lebih baik kepada konsumen. Meski BNPL memberikan banyak kemudahan, OJK melihat adanya potensi risiko, baik bagi konsumen maupun penyedia paylayer.

“Beberapa konsumen mungkin tertarik untuk melakukan pembelian yang melebihi kemampuan pembayarannya, sehingga dapat menjadi risiko bagi penyedia paylater apabila piutang tersebut tidak tertagih,” demikian yang dikutip dari dokumen Roadmap Pengembangan dan Penguatan Perusahaan Pembiayaan 2024–2028.

Sementara itu, bagi konsumen akan tercatat sebagai nasabah dengan kolektibilitas bermasalah. Imbasnya, ke depan nasabah berpotensi tidak dapat menggunakan lagi produk atau layanan jasa keuangan.

“Perusahaan yang menawarkan produk paylater perlu memperhatikan peraturan dan pengawasan di sektor keuangan,” ungkap OJK.

Halaman
  1. 1
  2. 2

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper