Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi penyelenggara fintech peer to peer (P2P) lending bergerak cepat guna mendorong perusahaan yang belum memenuhi kewajiban ekuitas minimum, salah satunya dengan membentuk konsorsium.
Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) membentuk konsorsium yang terdiri dari pemilik beberapa platform P2P lending atau pinjaman online (pinjol) besar guna membantu penyelenggara yang kesulitan memenuhi ekuitas minimum Rp7,5 miliar yang diwajibkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Berdasarkan data terbaru OJK, masih terdapat 10 dari 97 penyelenggara P2P lending yang belum memenuhi ketentuan ekuitas minimum. Sementara itu, sejumlah platform telah berguguran karena tidak mampu memenuhi persyaratan modal tersebut.
Beberapa penyelenggara fintech P2P lending bermasalah yang dicabut izinnya karena tidak dapat memenuhi ekuitas antara lain PT Investree Radhika Jaya (Investree) pada Oktober 2024, PT Tani Fund Madani Indonesia (TaniFund) pada 3 Mei 2024, PT Akur Dana Abadi (Jembatan Emas) pada 3 Juli 2024, dan PT Semangat Gotong Royong (Dhanapala) pada 5 Juli 2024.
Ketua Umum AFPI Entjik S. Djafar mengatakan bahwa inisiatif ini merupakan upaya industri dalam menjaga keberlanjutan bisnis dan mendukung pemain yang masih menghadapi kendala modal. Konsorsium ini akan bekerja dengan arahan dari OJK untuk mencari solusi terbaik bagi platform yang bermasalah.
Baca Juga
“Kami telah membentuk konsorsium yang anggotanya adalah owner dari beberapa platform pindar besar untuk membantu para platform pindar yang bermasalah, tentunya dengan arahan dari OJK,” ujar Entjik kepada Bisnis, pada Rabu (12/2/2025).
Entjik menegaskan aturan pemenuhan ekuitas Rp7,5 miliar tersebut sebenarnya bukan hal baru dan OJK telah memberikan peringatan jauh sebelum tenggat waktu pemenuhannya. Oleh karena itu, dia menilai bahwa para penyelenggara seharusnya telah mempersiapkan diri sejak beberapa tahun lalu.
“Tujuan dari aturan OJK ini agar industri ini semakin sehat dan berkelanjutan, sehingga para pemain di industri pindar ini harus siap dengan ketentuan ini. Perlu diketahui, aturan ini sudah lama diatur dan OJK telah sering mengingatkan jauh hari sebelum deadline kewajiban minimum ekuitas, seharusnya sudah siap beberapa tahun lalu,” katanya.
Di tengah dinamika industri, AFPI juga mengingatkan agar para pemain P2P lending tetap berhati-hati dalam menjalankan bisnisnya. Kepatuhan terhadap regulasi menjadi kunci agar industri tetap stabil dan berkelanjutan.
“Kami mengimbau kepada para platform pindar agar tetap konservatif dengan mematuhi aturan yang telah ditetapkan OJK, tetap memperhatikan rambu-rambu yang tidak boleh dilanggar apalagi ditabrak,” tegasnya.
Sementara itu, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menyebut bahwa industri ini sangat bergantung pada pemain yang memiliki permodalan yang cukup untuk menanggung risiko yang tinggi, yang menjadi ciri khas dari bisnis pinjaman daring (pindar).
“Ketika permodalan kuat, maka perusahaan mampu menanggung risiko dari bisnis ini. Bisnis pinjaman daring merupakan bisnis yang risiko-nya cukup tinggi. Maka dibutuhkan platform yang secara finansial mencukupi. Salah satu indikatornya dari sisi permodalan yang kuat,” kata Huda kepada Bisnis, dikutip Kamis (13/2/2025).
Menurut Huda, kinerja perusahaan secara langsung memengaruhi permodalan yang mereka miliki. Menurutnya perusahaan yang memiliki kinerja yang baik biasanya akan memiliki permodalan yang lebih kuat. Hal ini dikarenakan kinerja yang baik memungkinkan perusahaan untuk mendapatkan pendanaan yang cukup, sehingga mereka dapat dengan mudah memenuhi persyaratan modal minimum.
Sebaliknya, perusahaan dengan kinerja yang kurang baik akan mengalami penurunan pendanaan, yang berdampak pada kesulitan dalam memenuhi persyaratan tersebut. Namun, Huda juga menyoroti pengaruh kebijakan OJK yang dapat memengaruhi kinerja platform.
“Masalahnya adalah kinerja ini dipengaruhi oleh kebijakan yang dibuat oleh OJK juga. Contohnya tentang bunga manfaat yang berubah, pasti akan berpengaruh terhadap kinerja penyaluran platform karena berpengaruh terhadap pendapatan lender. Bagi platform yang mengandalkan lender ritel, pasti akan kesulitan,” tambahnya.
Huda juga menyarankan agar kebijakan OJK harus mampu menyesuaikan dengan kondisi industri, terutama ketika industri memerlukan dorongan untuk berkembang lebih pesat.
Langkah OJK
Dari keseluruhan P2P lending yang belum memenuhi ekuitas minimum, Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (PVML) OJK Agusman mengatakan bahwa ada empat penyelenggara yang sedang dalam proses analisis permohonan peningkatan modal disetor.
“OJK terus melakukan langkah-langkah yang diperlukan berdasarkan progress action plan upaya pemenuhan kewajiban ekuitas minimum,” kata Agusman dalam keterangan resmi pada Selasa (11/2/2025).
Agusman menjelaskan bahwa action plan yang dimaksud antara lain berupa injeksi modal dari pemegang saham, maupun dari strategic investor lokal/asing yang kredibel, termasuk pengembalian izin usaha.
Dalam rangka menegakkan kepatuhan dan integritas industri sektor PVML, Agusman mengatakan bahwa selama Januari 2025 OJK telah mengenakan sanksi administratif kepada 27 perusahaan pembiayaan, 6 perusahaan modal ventura, 62 penyelenggara P2P Lending, 7 Lembaga Keuangan Mikro (LKM), dan 6 perusahaan pergadaian atas pelanggaran yang dilakukan terhadap Peraturan OJK (POJK) yang berlaku, maupun hasil pengawasan dan/atau tindak lanjut pemeriksaan.
Agusman mengatakan pengenaan sanksi administratif terdiri dari 104 sanksi denda dan 42 sanksi peringatan tertulis.
“OJK berharap upaya penegakkan kepatuhan dan pengenaan sanksi tersebut dapat mendorong pelaku industri sektor PVML meningkatkan aspek tata kelola yang baik, kehati-hatian, dan pemenuhan terhadap ketentuan yang berlaku sehingga pada akhirnya dapat berkinerja lebih baik dan berkontribusi secara optimal,” kata Agusman.
Dari sisi kinerja industri fintech P2P lending, outstanding pembiayaan tumbuh 29,14% secara tahunan (year-on-year/yoy) hingga akhir Desember 2024 dengan nominal sebesar Rp77,02 triliun.
Adapun pertumbuhan tersebut lebih tinggi apabila dibandingkan per November 2024 sebanyak 27,32% yoy. Sementara tingkat risiko kredit macet secara agregat (TWP90) dalam kondisi terjaga stabil di posisi 2,60%. Angka tersebut sedikit lebih tinggi dibandingkan per November 2024 yang mencapai 2,52%.