Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

DEISIT NERACA TRANSAKSI BERJALAN: Presiden SBY Didesak Ambil Kebijakan, Jangan Tunggu Jokowi

Pemerintah diharapkan segera mengeluarkan kebijakan tertentu untuk mengendalikan defisit neraca transaksi berjalan (current account deficit) yang pada kuartal II/2014 melebar hingga 4,27% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Ilustrasi/Bisnis.com
Ilustrasi/Bisnis.com

Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah diharapkan segera mengeluarkan kebijakan tertentu untuk mengendalikan defisit neraca transaksi berjalan (current account deficit) yang pada kuartal II/2014 melebar hingga 4,27% terhadap produk domestik bruto (PDB).

Managing Director Head of Global Markets HSBC Ali Setiawan mengatakan akan terlalu terlambat untuk mengelola defisit transaksi berjalan jika kita harus menunggu hingga administrasi pemerintahan baru.

"Kalau hingga akhir tahun pemerintahan SBY tidak melakukan apa-apa, kita bergantung pada pemerintahan berikutnya. Tapi problemnya, defisit neraca transaksi berjalan kita ini sudah sangat besar. Inagurasi itu 20 Oktober, kabinet mulai bekerja paling tidak sebulan berikutnya, jadi sudah sangat terlambat," ujar Ali di Jakarta, kamis (14/8/2014).

Adapun, defisit transaksi berjalan kuartal II sentuh nilai US$9,1 miliar. Nilai ini, menurut Ali berpotensi meledak hingga akhir tahun jika pemerintah tidak mengambil tindakan apapun mengingat saat ini kebutuhan masyarakat sehari-hari amat bergantung pada impor.

Dia menuntut pemerintah segera bertindak, mengingat Bank Indonesia telah menunaikan tugasnya dengan tetap melakukan pengetatan. Selain mempertahankan tingkat suku bunga 7,5%, BI juga membiarkan pelemahan rupiah demi menahan laju impor. Kalau pertumbuhan ekonomi bergantung pada impor, menurut Ali, Indonesia akan mengalami kesulitan di masa yang akan datang.

Mengingat masa pemerintahan SBY hanya tinggal hitungan bulan, Ali menyarankan pemerintah untuk segera memangkas nilai subsidi BBM.

Konsumsi paling besar di negara ini itu minyak, setiap tahun selalu bertambah. Per Juni saja, konsumsi BBM sudah melebihi setengah dari bujet 46 juta kiloliter. Sementara setelah bulan Juni itu biasanya konsumsi meningkat. Kita tidak punya kebijakan yang dapat mengatasi ini secara struktural, ujarnya.

Ali menjelaskan, pemangkasan subsidi BBM amat mungkin dilakukan sebelum SBY turun dari bangku pemerintahan. Beberapa alasannya yaitu pemangkasan subsidi tidak memakan waktu dan tidak lagi perlu dibawa ke ranah parlemen.

Pasalnya, kenaikan harga bahan bakar 44% yang telah diimplementasikan tidak lagi mampu menekan konsumsi domestik. Ali yakin, pada dasarnya pemerintah banyak menyusun rencana kebijakan, namun belum merealisasikannya.

Risiko yang berasal dari tingginya konsumsi BBM sesungguhnya besar sekali ke trade balance kita. Kita harus waswas. Kalau tidak ada kebijakan apapun, sudah pasti defisit akan meledak. Jadi kalau mau capai defisit 2,4% sampai akhir tahun itu quite challenging. Harus ada kebijakan sebelum akhir tahun, katanya.

Di satu sisi, Ali optimis dengan ekspor, mengingat ekonomi negara-negara Asia masih berupaya pulih. Adapun perdagangan dengan negara-negara Asia menyumbang porsi hingga 0,6% terhadap PDB.

Mengenai prediksi pertumbuhan, Global Research HSBC sejak awal tahun telah memproyeksikan tahun ini Indonesia akan tumbuh 5,1%.

"Kami [HSBC] juga berpikir bagaimana bisa PDB kita tumbuh 6% tahun ini mengingat kita punya isu-isu struktural. Kalau target 6% itu mengacu pada konsumsi dan impor, wah itu out of control," jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Dara Aziliya
Editor : Sepudin Zuhri
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper