Bisnis.com, JAKARTA—Di tengah pengetatan likuiditas sejumlah bank belakangan gencar memacu layanan cash management. Tak hanya bank lokal, bank asing dan campuran juga melakukan hal serupa.
“Dengan kondisi ekonomi makro slow down seperti saat ini layanan cash management justru berbanding terbalik. Situasi likuiditas susah korporasi harus manage lebih baik,” ujar Head of Global Payments and Cash Management HSBC Indonesia Herani Hermawan di Jakarta, Kamis (11/9/2014).
Dia meyakini layanan cash management bakal terus meningkat. Sejumlah bank asing pun masih fokus di area ini. Menurutnya pendapatan bank bakal terkerek lantaran fee based income yang terus bertambah. Di sisi lain dana pihak ketiga juga akan bertambah sehingga mampu menopang kebutuhan likuiditas bank.
HSBC Indonesia meluncurkan solusi rekonsiliasi piutang bagi nasabah korporasi. Solusi ini diklaim mempermudah penerimaan piutang khususnya bagi perusahaan yang bergerak di industri fast moving consumer goods, ritel, distributor, dan asuransi.
Herani mengatakan kendala terbesar dalam menajemen kontrol piutang adalah tidak adanya informasi atas piutang yang sudah dibayarkan. Menurutnya sejumlah perusahaan mengakui manajemen biaya dan margin yang tipis menjadi hambatan. Belum lagi pengaturan neraca jangka pendek dan akses pinjaman dengan bunga dan tenor kompetitif yang membuat proses penagihan semakin panjang.
“Sistem clearing menjadi isu penting di sejumlah negara karena keterbatasan informasi yang tersedia, padahal perusahaan perlu lebih detail,” katanya.
Dia menambahkan dengan sistem otomasi invoice, perusahaan dapat menghemat waktu kurang lebih 50 jam per bulan. Efisiensi itu, katanya, bakal berujung pada turn over yang lebih baik serta kebutuhan financing yang dapat dipangkas.
Berdasarkan data di Bank Indonesia, hingga akhir semester I/2014 HSBC Indonesia mencatatkan pendapatan bunga sebesar Rp2,3 triliun, sedangkan non bunga Rp3,9 triliun. Lebih tinggi ketimbang periode yang sama 2013 yang tercatat Rp1,7 triliun pendapatan bunga dan Rp2,7 triliun non bunga. Adapun laba bersih hingga triwulan II/2014 tercatat Rp826 miliar, lebih rendah dibanding periode yang sama 2013 yang mencapai Rp860,9 miliar.
DBS Indonesia sebelumnya juga meluncurkan program layanan cash management. Program yang diberi nama Working Capital Advisory ini memberikan fasilitas konsultasi bagi nasabah UKM memacu efisiensi dengan manajemen modal kerja yang lebih baik salah satunya pada cash flow. DBS Indonesia menegaskan pihaknya tak mengutip biaya kepada nasabah untuk konsultasi tersebut.
Menurut DBS saat ini terdapat dana hingga US$2,7 triliun di Asia yang masih mandeg lantaran cash flow yang kurang baik. Senior Vice President Head of Trade Finance & Services Global Transaction Services PT Bank DBS Indonesia Guntur S. Widodo mengklaim melalui program tersebut rata-rata perusahaan di Singapura dapat membebaskan dana hingga 5 juta dolar Singapura.
Bagi sejumlah bank asing dan campuran, likuiditas sejatinya tak terlalu menjadi persoalan lantaran sokongan dari induk bisnis. Begitu pula dengan bank-bank besar lokal yang justru mulai menurunkan suku bunga deposito. Meskipun begitu bagi bank level menengah dan kecil persaingan mendulang likuiditas cukup ketat.
Menurut data Bank Indonesia pada Juli 2014, suku bunga simpanan perbankan masih terus meningkat. Rata-rata suku bunga deposito berjangka waktu 1, 3, 6, dan 12 bulan masing-masing mencapai 8,41%, 9,20%, 9,10% dan 8,44%, meningkat dibandingkan Juni 2014, masing-masing tercatat 8,29%, 9,11%, 8,98% dan 8,28%.