Bisnis.com, JAKARTA--Posisi utang luar negeri (ULN) Tanah Air hingga Juli 2014 mencapai US$290,56 miliar, tumbuh 10% dari periode yang sama tahun sebelumnya.
Pada Juli 2014, komposisi ULN yakni pemerintah dan bank sentral mencapai US$134,15 miliar, sedangkan swasta yang terdiri industri perbankan mencapai US$29,16 miliar dan industri bukan bank mencapai US$127,24 miliar.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia Tirta Segara mengungkapkan BI akan tetap memantau perkembangan ULN dan memperkuat kebijakan pengelolaan ULN, khususnya swasta.
"Pengelolaan ULN agar dapat berperan secara optimal mendukung pembiayaan pembangunan tanpa menimbulkan risiko stabilitas makroekonomi," ungkapnya, Rabu (17/9/2014).
Tirta mengungkapkan perkembangan ULN pada Juli 2014 dipengaruhi oleh pertumbuhan ULN sektor swasta yang melambat di saat pertumbuhan ULN sektor publik tercatat sedikit meningkat.
Sementara itu, pertumbuhan ULN sektor swasta mencapai 12,9% secara year on year, lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan bulan sebelumnya yang sebesar 14,4% y-o-y. Sementara itu, ULN sektor publik tumbuh 6,8% y-o-y, lebih tinggi dari bulan sebelumnya yang sebesar 6,2% y-o-y.
Berdasarkan jangka waktu, pertumbuhan posisi ULN berjangka panjang mencatatkan perlambatan, sementara ULN berjangka pendek tumbuh lebih tinggi.
Adapun ULN berjangka panjang pada Juli 2014 tumbuh 9,8% y-o-y, dan berjangka pendek tumbuh 11,1% y-o-y.
Pada Juli 2014, ULN berjangka panjang tercatat sebesar US$240,6 miliar, atau mencapai 82,8% dari total ULN. Dari jumlah tersebut, ULN berjangka panjang sektor publik mencapai US$128,1 miliar atau 95,5% dari total ULN sektor publik dan ULN berjangka panjang sektor swasta tercatat US$112,5 miliar atau 71,9% dari total ULN swasta.
Gubernur Bank Indonesia Agus D.W. Martowardojo mengungkapkan tren ULN khususnya swasta mencatatkan peningkatan. Dari total ULN tersebut, katanya, 67% belum menerapkan prinsip pengelolaan risiko melalui lindung nilai (hedging).
"Korporasi dan BUMN yang belum melakukan hedging harus berupaya melakukan kajian," ungkapnya.
Agus menilai Indonesia saat ini tengah menghadapi risiko eksternal, apalagi adanya geopolitik Timur Tengah yang akan berdampak pada risiko nilai tukar. Jika korporasi masih mengandalkan transaksi spot, sambungnya, maka risiko akan sulit dikelola.