Bisnis.com,JAKARTA— Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan mengandalkan opsi penyertaan modal pemerintah sebagai dana berimbang guna menutup defisit anggaran penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Nasional- Kartu Indonesia Sehat atau JKN-KIS.
BPJS Kesehatan mencatatkan arus kas negatif pada semester I/2017lantaran pengeluaran untuk penyelenggaraan program jaminan kesehatan nasional lebih besar Rp5,8 triliun ketimbang jumlah penerimaan.
Hingga akhir Juni 2017, BPJS Kesehatan mencatat jumlah penerimaan senilai Rp35,6 triliun, sedangkan pengeluaran tercatat senilai Rp41,5 triliun.
Fachmi Idris, Direktur Utama BPJS Kesehatan, mengatakan prinsip anggaran beimbang adalah pendapatan dan pengeluaran harus match.
Pendapatan yang diterima BPJS Kesehatan selama ini berasal dari iuran dan sumber dana lain seperti investasi atau dana penyertaan pemerintah.
“Setelah dihitung, ternyata hitungan akademik aktuara untuk iuran memang tidak match dengan pengeluaran, sejak awal,” kata Fachmi ditemui di Kantor BPJS Kesehatan Pusat.
Baca Juga
Dia menjelaskan iuran untuk kelas tiga atau masyarakat umum, iuran saat ini sebesar Rp25.500, sedangkankan berdasarkan hitungan aktuaria seharusnya mencapai Rp53.000.
Artinya per kepala sudah minus Rp27.000. Kelas dua iuran yang diberikan sebesar Rp51.000, sedangkan dari hitungan aktuaria mestinya Ro63.000.
Oleh karena itu tiap orang yang mendaftar kelas dua sudah minus Rp13.000. Sedangkan kelas satu seharusnya mencapai Rp80.000.
Sebagai solusi missmatch, Fachmi menjelaskan tanpa penyesuaian iuran terdapat dua opsi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang dapat dilakukan agar program JKN-KIS dapat terus berjalan.
Pertama, penyesuaian manfaat. Artinya, bila pendapatan iuran tidak sesuai, maka pengeluaran pun mesti dikurangi dengan menghilangkan sejumlah manfaat.
“Sebagai gambaran saja, untuk penyakit jantung saja pada tahun lalu ada biaya manfaat senilai Rp7,4 triliun. Jika manfaat itu dihapus, pasti tidak defisit, selesai persoalan. Tapi opsi pengurangan benefit tidak akan kami pilih,” jelasnya.
Sebagai bentuk komitmen pemerintah untuk melanjutkan program jaminan kesehatan nasional tersebut, lanjut Fachmi, pemerintah masih berkomitmen untuk memberikan suntikan dana tambahan.
“Tahun ini suntikan dana tambahan sebesar Rp3,6 triliun dari APBN. Tahun ini sudah clear, untuk tahun depan kami bicarakan bersama-sama lagi pada pengesahan rencana kerja Kementrian Keuangan, Kementerian Kesehatan, dan DJSN [Dewan Jaminan Sosial Nasional],” katanya,
Irfan Humaidi, Staf Ahli Direksi Bidang Komunikasi Publik dan Partisipasi Masyarakat, menambahkan suntikan dana sebesar Rp3,6 triliun dari pemerintah pusat masih dalam proses pencairan.
“Aturan yang dipilih saat ini adalah suntikan modal pemerintah. Kalau 2016 kombinasi antara kombinasi iuran dan suntikan dana. Pengurangan manfaat tidak diotak-atik lagi karena dampak sosialnya jauh lebih tinggi,” jelas Irfan.
Pasalnya, menurut Irfan apabila manfaat dikurangi akan semakin banyak mengakses program Jaminan Kesehatan Nasional.
Oleh karena itu pemerintah sangat peduli untuk mempertahankan program tersebut tetap berjalan. Sedangkan untuk opsi penyesuaikan iuran sesuai dengan hitungan aktuaria akan dilakukan secara bertahap.