Bisnis.com, JAKARTA — Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengungkapkan bahwa skema koordinasi manfaat atau Coordination of Benefit (CoB) antara BPJS Kesehatan dan asuransi kesehatan swasta saat ini tengah dalam tahap evaluasi, khususnya terkait batas maksimal tarif yang bisa dikenakan rumah sakit.
Ghufron menyampaikan bahwa implementasi CoB sudah mulai diterapkan, terutama bagi peserta JKN-KIS kelas 1 yang ingin meningkatkan layanan rawat jalan maupun rawat inap ke kelas lebih tinggi seperti VIP.
“Ya, sebetulnya sekarang ini ya. Orang yang sudah katakanlah kelas 1 ya, yang dia mau dirawat, seperti rawat jalan, itu bisa. Dan cuma nambah Rp400 ribu rupiah. Nah kalau dia nggak puas dirawat di kelas 1, naik ke kelas VIP boleh,” kata Ghufron ditemui usai acara Penandatanganan MoU Dengan Kementerian Hukum RI di Kantor BPJS Kesehatan pada Kamis (24/4/2025).
Namun, dia menekankan bahwa terdapat batasan tertentu dalam penerapan skema ini, terutama dalam hal tarif layanan yang dibebankan kepada peserta dan perusahaan asuransi swasta.
“Nah bedanya itu, sisanya itu, nah itu yang dibayar ya. Tapi itu ada batasnya. Kalau sekarang itu sekitar 200%. Nah ini asosiasi rumah sakit sedang diskusi, berapa kira-kira? Apakah sudah tepat 200% dari harganya?” imbuhnya.
Pernyataan Ghufron ini sejalan dengan perkembangan regulasi yang tengah disiapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), Cipto Hartono, menyebut bahwa OJK dalam waktu dekat akan menetapkan ketentuan skema CoB tersebut dalam bentuk Surat Edaran OJK (SE OJK).
Baca Juga
“Dalam RSEOJK yang akan segera diterbitkan tampaknya akan ada ketentuan yang mengatur bahwa produk asuransi kesehatan wajib memiliki fitur koordinasi manfaat dengan BPJS Kesehatan,” kata Cipto kepada Bisnis, Rabu (19/3/2025).
Lebih lanjut, Cipto menjelaskan bahwa dalam pembagian beban biaya klaim CoB, porsi yang ditanggung perusahaan asuransi swasta akan lebih besar dibandingkan dengan BPJS Kesehatan. Kendati demikian, ia menilai dampaknya terhadap premi asuransi kesehatan tidak serta-merta signifikan.
“Premi asuransi kesehatan tidak hanya ditentukan oleh skema CoB, tetapi juga dipengaruhi oleh berbagai faktor lain,” ujarnya.
Faktor-faktor tersebut antara lain riwayat klaim tertanggung, tren inflasi biaya medis, serta struktur manfaat dalam polis. Sementara itu, Ketua Bidang Produk, Manajemen Risiko, dan GCG Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), Fauzi Arfan, menilai bahwa apabila beban yang ditanggung oleh asuransi swasta lebih besar, maka harga polis kemungkinan akan ikut naik.
“Jika skema CoB mengharuskan asuransi swasta menanggung selisih biaya yang lebih besar, maka ada potensi premi produk dengan fitur CoB menjadi lebih tinggi dibandingkan produk yang tidak mengadopsi mekanisme ini,” kata Fauzi.
Menurutnya, evaluasi berkala terhadap skema pembagian beban dalam CoB sangat penting, terutama di tengah kondisi dinamis biaya layanan kesehatan.