Sugeng Slamet masih mengingat dengan jelas dampak krisis ekonomi pada 2007-2008 yang memporak-porandakan usaha pertanian apel yang menjadi tumpuan kehidupannya. Krisis yang terjadi secara global tersebut membuat harga apel anjlok karena hasil panen tidak terserap oleh pasar.
Sugeng yang memulai bisnis pertanian apel di Malang, Jawa Timur, dengan modal sendiri senilai Rp250 juta, menyimpulkan bahwa masalah utama yang dihadapi oleh para petani apel adalah lemahnya rantai distribusi hasil panen. Ketika panen raya tiba, buah yang dihasilkan melalui kerja keras tersebut tidak terdistribusi dengan baik sehingga menyebabkan harga anjlok. Padahal, di sisi lain, harga pupuk dan biaya operasional tidak pernah turun.
Belajar dari pengalaman, Sugeng memutuskan untuk memulai lini bisnis baru di bidang ini, yakni menjadi distributor apel. Melalui bendera Usaha Dagang (UD) Gelora Buah, Sugeng mulai menjalin kemitraan dengan para petani apel dan memasarkan hasil panen mereka ke pasar tradisional maupun modern.
Skema kemitraan yang disepakati dengan petani adalah penyaluran modal kerja dan jaminan penyerapan hasil panen. UD Gelora Buah menyalurkan modal kerja berupa pupuk dan insektisida, yang akan dibayar oleh petani menggunakan hasil panen mereka. Para petani akan mendapatkan uang tunai dari hasil penjualan apel setelah dipotong dengan biaya modal kerja yang telah diterima sejak awal masa tanam.
Guna meningkatkan daya jual, Sugeng mengedukasi para mitra petani untuk memperbaiki kualitas hasil panen. Setiap petani yang menjadi mitra didorong untuk senantiasa memanfaatkan pupuk dan insektisida organik, serta melakukan perawatan tanaman secara rutin.
“Dengan kualitas yang membaik, harga apel juga naik dari Rp5.000 menjadi Rp12.000 per kilogram,” ujar Sugeng saat ditemui di pabrik, beberapa waktu lalu.
Seiring dengan perkembangan bisnis, Sugeng merasa membutuhkan tambahan modal agar dapat meningkatkan produksi. Pada 2009, dia menanda tangani pinjaman modal kerja dari PT Bank Central Asia Tbk. senilai Rp600 juta.
Sugeng menceritakan, alasan utama untuk mengambil kredit yang ditawarkan oleh bank adalah bunga kredit yang terjangkau. Ketika itu, pihak bank menawarkan bunga sebesar 0,6% per bulan atau 7,2% per tahun.
“Saya lihat tawarannya, bunganya ringan, jadi langsung saya ambil. Pertama kali itu saya dapat pinjaman bunganya 0,6% per bulan,” ujarnya.
Dana pinjaman yang diperoleh dari bank kemudian digunakan untuk meningkatkan operasional dari sisi tenaga kerja dan mengembangkan jaringan kemitraan dengan petani. Semakin banyak petani yang menjadi mitra UD Gelora Buah.
Senior Vice President Divisi Bisnis Komersial dan Usaha Kecil Menengah BCA Daniel Darmawan mengatakan, awalnya Sugeng adalah debitur kredit pemilikan rumah (KPR) BCA pada 2002.
“Lewat hubungan yang engaged dengan BCA KCP [Kantor Cabang Pembantu] Batu, dia mendapatkan cross selling untuk kredit usaha kecil dengan plafon awal Rp300 juta dan terus bertambah,” ujarnya.
Dinilai sukses mengembangkan bisnis kemitraan dan distribusi apel, bank kembali menawarkan pinjaman. Pada 2014, Sugeng menandatangani pinjaman baru senilai Rp800 juta yang juga dimanfaatkan sebagai modal kerja untuk mengembangkan bisnis.
Saat ini, UD Gelora Buah memiliki sekitar 60 karyawan dengan jaringan mitra petani yang mengelola lahan pertanian apel seluas 350 hektare. Setiap petani mengelola lahan seluas seperempat hektare sampai satu hektare.
Ketika musim panen tiba, UD Gelora Buah bisa mendapatkan setoran produksi apel dari petani mitra hingga 12 ton per hari. Omzet usaha saat ini mencapai sekitar Rp1 miliar per bulan.
Setelah dua kali mendapatkan fasilitas kredit perbankan, Sugeng merasa perlu kembali mengakses dana pinjaman untuk mendukung ekspansi bisnis. Pada tahun ini, UD Gelora Buah akan menjajal lini usaha baru yakni memproduksi sari apel dan keripik apel.
Dia menyebutkan, saat ini proses pembangunan pabrik untuk memproduksi kedua jenis makanan olahan apel tersebut telah mulai berjalan. Biaya pembangunan pabrik berikut alat produksi diharapkan akan menelan dana sekitar Rp1,5 miliar.
“Salah satu sumber pendanaannya akan berasal dari pinjaman bank,” katanya.
Sugeng optimistis bank akan kembali mempercayainya untuk mendapatkan pinjaman yang dibutuhkan untuk membangun pabrik. Dengan rekam jejak yang baik sebagai debitur, nasabah seperti Sugeng berpeluang mendapatkan kredit dengan bunga kompetitif.
Di sisi lain, pihak bank juga diuntungkan ketika mendapatkan debitur yang dapat menyelesaikan kewajibannya secara tepat waktu dan memiliki usaha yang terus berkembang. Dengan demikian, bank tidak kesulitan mencari debitur sebagai target penyaluran kredit. Sebuah simbiosis mutualisme yang menguntungkan kedua belah pihak dan berdampak pada pengembangan ekonomi serta pembukaan lapangan kerja di wilayah setempat.