Bisnis.com, JAKARTA - Perkembangan financial technologi (fintech) di Indonesia yang pesat beberapa tahun belakangan memunculkan kesangsian sejumlah pihak mengenai regulasi dan pengawasan penyaluran dana. CEO dan Co-founder fintech peer-to-peer (P2P) lending Modalku, Reynold Wijaya membantah hal tersebut.
Reynold mengatakan aturan yang ada, yakni Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No.77/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI), sudah cukup kuat mengatur operasional fintech.
"Sebenarnya aturannya sudah kuat, karena semua platform [fintech] diharuskan untuk menggunakan virtual account dan escrow account. Virtual account dan escrow account itu diatur oleh regulasi perbankan," kata Reynold kepada Bisnis, Minggu (11/2/2018).
Penyelenggara fintech P2P lending, lanjut Reynold, bukanlah pihak yang berwenang menghimpun dana dari masyarakat, sehingga diwajibkan memiliki virtual dan escrow account untuk menyalurkan pinjaman. Dengan demikian, pengawasan penyaluran dana kepada debitur P2P lending bisa dilakukan melalui mekanisme perbankan.
Senada dengan Reynold, Direktur Eksekutif Asosiasi Fintech Indonesia Ajisatria Suleiman menegaskan penyaluran dana di P2P lending sudah diatur dengan dengan di POJK 77.
"Semua dana dipegang bank selaku escrow dan cash management. Semua data dilaporkan ke OJK, kalau ada debitur fiktif, pasti terdeteksi," kata Ajisatria.
Baca Juga
Penggunaan virtual dan escrow account tersebut diketahui sebelumnya sempat diprotes oleh pelaku fintech. Dalam aturan tersebut tertulis, jangka waktu maksimal penempatan dana dari pengguna yang tidak digunakan untuk transaksi pemberian pinjaman pada escrow account, tidak boleh lebih dari tujuh hari kerja.
Batasan tersebut dinilai kurang ideal dan tidak mendukung pertumbuhan fntech. Para pelaku pun meminta aturan tersebut dihapuskan, atau setidaknya diperpanjang menjadi 60 hari.
Belakangan, OJK berencana mengamandemen aturan tersebut karena belum mencakup pengaturan soal fintech berbasis syariah. Selain itu, rencana tersebut juga menyusul dibolehkannya perusahaan fintech lending menjual surat berharga negara (SBN).