Bisnis.com, JAKARTA - Tahun 2025 belum genap setengah jalan, tetapi industri asuransi kesehatan di Indonesia telah digerakkan oleh terbitnya Surat Edaran OJK (SEOJK) No. 7/2025. Regulasi ini bukan sekadar pembaruan administratif, melainkan game changer yang mendorong pelaku industri untuk menata ulang produk dan strategi bisnis secara menyeluruh.
SEOJK mempertegas arah POJK 23/2023, yang mengatur produk dan pemasaran asuransi, dengan menekankan transparansi manfaat, keberlanjutan finansial, serta perlindungan terhadap pemegang polis. Salah satu ketentuan kunci adalah penerapan copayment untuk mendorong efisiensi dan mengurangi moral hazard—yakni penggunaan layanan secara berlebihan ketika biaya ditanggung penuh oleh asuransi.
Sementara itu, inflasi biaya medis meningkat tajam. Premi perlu disesuaikan, tetapi kompetisi tarif tetap tinggi dan kerap tidak diimbangi peningkatan mutu. Ini menimbulkan kekecewaan dari peserta asuransi terhadap kualitas layanan. Maka, pembagian risiko melalui copayment menjadi langkah yang sehat—tidak hanya antara peserta dan penanggung, tetapi juga dengan penyedia layanan.
SEOJK tersebut menetapkan batas maksimum kewajiban peserta agar copayment tetap adil. Namun, agar kebijakan ini berdampak optimal, dibutuhkan sistem pendukung yang menyatukan kendali biaya dan mutu. Telaah utilisasi secara aktif serta penyelesaian administratif harian sangat penting untuk memastikan bahwa layanan tetap rasional sejak awal. Di sinilah peran pendekatan berbasis data dan jalur klinis yang adaptif menjadi semakin relevan.
Standarisasi tarif melalui iDRG (Indonesian Diagnosis Related Groups), yaitu sistem pengelompokan kasus berdasarkan diagnosis dan tindakan medis yang digunakan untuk keperluan penetapan tarif rumah sakit, terutama dalam sistem pembiayaan berbasis paket (prospektif), akan memberi peluang besar bagi asuransi swasta untuk menyusun produk yang lebih presisi dan kompetitif.
Dengan kepastian biaya berbasis klasifikasi medis, perencanaan aktuaria dan pengendalian risiko bisa dilakukan secara lebih akurat. Ini membuka peluang terciptanya kesetaraan perlindungan: layanan yang sesuai kebutuhan klinis tanpa diskriminasi akibat perbedaan tarif antar rumah sakit.
Baca Juga
Dengan iDRG dan dukungan digital seperti SatuSehat, maka asuransi swasta, baik yang menerapkan COB (coordination of benefits), yaitu mekanisme koordinasi manfaat dengan BPJS Kesehatan agar tidak terjadi duplikasi pembayaran dan klaim dari satu layanan kesehatan, maupun non-COB, akan dapat mengembangkan top-up plan berbasis tarif aktual, menyusun skema bundled payment, serta melakukan verifikasi eligibilitas dan deteksi fraud secara real-time.
Namun, potensi under-treatment akibat tekanan efisiensi perlu diwaspadai. Di sinilah dynamic clinical pathway (DCP), yaitu sistem tata laksana medis adaptif yang memanfaatkan teknologi untuk memperbarui dan menyesuaikan jalur klinis, akan berperan sebagai jembatan pengaman mutu.
DCP menjawab kebutuhan akan sistem yang lebih adaptif. Dalam skema iDRG, rumah sakit memerlukan clinical pathway (CP), suatu panduan tertulis yang sistematis dan terstruktur untuk menangani kondisi medis tertentu, yang mencakup urutan aktivitas klinis, waktu pelaksanaan, dan peran dari berbagai profesional kesehatan dalam memberikan pelayanan kepada pasien, dapat dijadikan rujukan layanan standar.
CP konvensional cenderung statis, sedangkan DCP bersifat dinamis dan terintegrasi dalam sistem digital seperti EMR (electronic medical record) yang mencatat data seperti riwayat penyakit, hasil laboratorium, pengobatan, dan tindakan medis, dan juga CDSS (clinical decision support system) yang berbasis komputer untuk membantu tenaga medis dalam pengambilan keputusan klinis, misalnya memberikan peringatan interaksi obat, rekomendasi diagnosis, atau saran protokol terapi berdasarkan data pasien.
DCP menyesuaikan alur layanan berdasarkan data real-time dan tingkat keparahan pasien, menjaga mutu, serta memberikan justifikasi klinis dalam adjudikasi klaim. Data dari DCP juga dapat dimanfaatkan untuk telaah kasus dan manajemen risiko. Secara teknis, DCP memadukan teknologi, aspek klinis (kriteria kesembuhan yang terukur), dan fleksibilitas sistemik. Negara-negara seperti China, Turki, dan Irlandia telah membuktikan bahwa pathway digital memperkuat mutu layanan sekaligus meningkatkan efisiensi nasional.
Di Indonesia, PNPK (Pedoman Nasional Praktik Kedokteran) dan PPK (Prosedur Pelayanan Kesehatan) telah menjadi dasar clinical pathway nasional yang memberikan standar pelayanan medis berbasis bukti (evidence-based) untuk penyakit atau kondisi tertentu, sebagai acuan nasional bagi praktik kedokteran. Transformasi digital Kementerian Kesehatan dan inisiatif seperti SatuSehat menunjukkan kesiapan menuju DCP. RSUP Sanglah bahkan telah mengintegrasikan pathway dengan skema BPJS. Dengan implementasi DCP, sistem iDRG dapat dijalankan lebih akurat dan efisien.
Namun, bila iDRG tidak dapat diakses dan dimanfaatkan oleh asuransi swasta untuk produk non-COB BPJS, maka akan timbul kerugian struktural dalam ekosistem kesehatan nasional. Asuransi swasta akan kesulitan membangun produk yang adil dan prediktif, peserta kehilangan kepastian tarif, dan rumah sakit terjebak dalam variasi negosiasi tarif yang tidak efisien. Hal ini berisiko menciptakan ketimpangan layanan dan melemahkan integrasi pembiayaan lintas sektor publik-swasta.
Meski demikian, DCP tetap fleksibel untuk diterapkan secara mandiri (tanpa iDRG) oleh fasilitas kesehatan maupun asuransi swasta. Sebagai alat kendali mutu, telaah utilisasi, dan adjudikasi klaim berbasis data, DCP mampu memperkuat praktik berbasis bukti meski belum terintegrasi dalam kerangka tarif iDRG.
Dengan demikian, DCP tetap memberi nilai tambah dalam menyelaraskan layanan dan pembiayaan, mengurangi mismatch, serta memperkuat proses audit secara real-time.