Bisnis.com, JAKARTA — Mulai 1 Januari 2026 produk asuransi kesehatan wajib memuat fitur pembagian risiko atau co-payment. Melalui skema ini, ketika mengajukan klaim kesehatan, pemegang polis wajib menanggung beban 10% dari total klaim asuransi dengan batasan tertentu.
Diatur di dalam Surat Edaran OJK Nomor 7/2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan, pemegang polis wajib menanggung paling sedikit sebesar 10% dari total pengajuan klaim dengan batas maksimum sebesar Rp300.000 per pengajuan klaim untuk rawat jalan dan maksimum sebesar Rp3 juta per pengajuan klaim untuk rawat inap.
Namun, perusahaan asuransi dapat menerapkan batas maksimum yang lebih tinggi sepanjang ada kesepakatan antara perusahaan asuransi dengan pemegang polis atau tertanggung.
Fitur co-payment ini dikecualikan untuk produk asuransi mikro. Produk asuransi mikro adalah produk asuransi yang didesain untuk memberikan pelindungan atas risiko keuangan yang dihadapi oleh masyarakat terutama masyarakat berpenghasilan rendah.
Ketua Bidang Produk, Manajemen Risiko, dan GCG Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Fauzi Arfan mengatakan bahwa ketentuan co-payment merupakan salah satu instrumen pengendalian klaim asuransi kesehatan yang dirancang secara struktural.
Tidak cuma itu, co-payment juga dipercaya bisa memitigasi tindakan medis yang tidak perlu atau over-utilization, terutama untuk layanan rawat jalan yang selama ini mendominasi frekuensi klaim kesehatan.
Baca Juga
"Dengan demikian, rasio klaim kesehatan dapat lebih terkendali dan portofolio produk menjadi lebih berkelanjutan. Ini penting mengingat tren inflasi medis di Indonesia yang terus meningkat. Menurut data MMB Health Trends 2025, inflasi biaya kesehatan telah mencapai 19%, jauh di atas inflasi umum," kata Fauzi kepada Bisnis beberapa waktu lalu, dikutip pada Senin (9/6/2025).
Bila merunut data, rasio klaim kesehatan asuransi jiwa sempat melambung tembus 100%. Rasio klaim kesehatan asuransi jiwa per Juni 2024 telah mencapai 105,7%, kemudian meningkat menjadi 139,5% per September 2024, dan berakhir di posisi 121,8% pada akhir 2024.
Rasio klaim tersebut berangsur turun tahun ini. Per Februari 2025 rasio klaim kesehatan pada industri asuransi jiwa mengecil menjadi 45,42% dan berdasarkan data terbaru rasio klaim asuransi kesehatan per April 2025 ada di posisi 51,29%.
Hal tersebut tidak lepas dari penyesuain tarif premi asuransi kesehatan yang dilakukan perusahaan asuransi jiwa seiring dengan inflasi medis yang membuat nominal klaim kesehatan meningkat.
Meski tak ada rilis resmi dari asosiasi maupun OJK, Mercer Marsh Benefits dan Willis Towers Watson (WTW) menyebutkan bahwa rata-rata kenaikan premi kesehatan di Indonesia sepanjang 2024 berkisar antara 8% hingga 15%.
Melihat kenaikan tarif premi asuransi kesehatan tersebut, Ketua Dewan Pengurus AAJI Budi Tampubolon melihat justru skema co-payment bisa meringankan beban pemegang polis asuransi karena tarif premi asuransi kesehatan dengan skema co-payment bisa lebih murah.
"Asuransi kesehatan berdasarkan SEOJK yang baru, saya percaya preminya akan lebih terjangkau buat masyarakat kita," kata Budi saat ditemui di kantor AAJI Jakarta, dikutip Sabtu (7/6/2025).
Selain itu, pembaruan tarif premi asuransi kesehatan di akhir jatuh tempo polis asuransi menurutnya juga bisa lebih murah.
"Renewal preminya kita lihat sama-sama [nanti], tapi saya lumayan percaya ada peluang besar kenaikan premi ketika polis jatuh tempo itu tidak sebesar sekarang," sambungnya.
Budi juga mengingatkan kepada masyarakat bahwa meskipun ada 10% beban biaya yang harus ditanggung pemegang polis, tetap saja ada batas maksimal yang diatur.
Budi juga menegaskan bahwa skema co-payment bukan hal baru di asuransi karena sebelumnya beberapa polis di asuransi kendaraan, asuransi properti hingga asuransi kesehatan sudah ada yang menerapkan skema serupa.
Penolakan Skema Co-Payment Asuransi
Sebelumnya, Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI) menyuarakan penolakan terhadap skema co-payment asuransi kesehatan. Alasannya adalah ketentuan beban 10% ditanggung pemegang polis dinilai tidak adil dan hanya mementingkan perusahaan asuransi.
"Kami menduga dalam proses pembuatan SEOJK 7/2025 tersebut tidak melibatkan representasi [lembaga] konsumen, dan sebaliknya hanya melibatkan kalangan industri asuransi saja," kata Ketua FKBI Tulus Abadi dalam keterangan tertulis, dikutip Sabtu (7/6/2025).
Tulus beranggapan pandangan perusahaan asuransi yang melihat ketentuan co-payment sebagai upaya untuk mengurangi perilaku moral hazard konsumen yang dianggap sering melakukan utilitas berlebih adalah pandangan yang keliru.
Bahkan dia menilai pihak yang sering melakukan dugaan tindakan moral hazard adalah perusahaan asuransi itu sendiri yang sering menolak hak-hak konsumen yang mengajukan klaim dengan berbagai macam dalih yang disampaikan.
Kekhawatiran respons konsumen yang menganggap industri asuransi "memanfaatkan OJK" sebelumnya juga diutarakan Pengamat Asuransi dan Dosen Program Magister Manajemen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Kapler Marpaung.
"Jangan sampai nanti masyarakat menilai bahwa industri asuransi dalam membatasi liability-nya harus meminjam tangan OJK," ujar Kapler.
Ihwal memberatkan atau tidak, Kapler melihat co-payment tentu akan memberatkan pemegang polis apalagi di tengah situasi pelemahan daya beli. Sebaliknya, Kapler juga tidak tutup mata dengan kondisi industri yang menghadapi lonjakan klaim asuransi kesehatan imbas adanya inflasi medis.
"Namun menekan rasio klaim untuk jangka panjang dengan kebijakan co-payment menurut saya tidak efektif," pungkasnya.
Sementara itu, Praktisi Manajemen Risiko dan Ketua Umum Komunitas Penulis Asuransi Indonesia (Kupasi) Wahyudin Rahman menilai skema co-payment memang berpotensi memberatkan sebagian pemegang polis, namun terutama pada segmen mass market atau pekerja informal. Alasannya, beban nilai yang ditanggung pemegang polis terhitung lebih moderat dibanding praktik co-payment di luar negeri.
"Bagi segmen menengah ke atas atau yang sudah terbiasa dengan skema co-payment misalnya melalui asuransi kesehatan korporasi, aturan ini tidak terlalu mengejutkan," kata Wahyudin.
Penjelasan OJK soal Peserta Asuransi Tanggung 10% Nilai Klaim
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan dan Dana pensiun OJK, Ogi Prastomiyono menjelaskan salah satu yang melatarbelakangi penerbitan SEOJK asuransi kesehatan ini adalah untuk mendorong efisiensi biaya kesehatan yang terus meningkat seiring dengan inflasi medis yang lebih tinggi dari inflasi umum.
"Efisiensi tersebut diharapkan dapat memitigasi dampak inflasi medis dalam jangka panjang sehingga biaya kesehatan dapat dibiayi bersama, baik melalui skema penjaminan nasional maupun skema asuransi komersial," jelas Ogi.
Pasalnya, regulasi yang diterbitkan OJK ini tidak semata mengatur skema co-payment. SEOJK 7/2025 juga mewajibkan perusahaan asuransi yang menjual produk asuransi kesehatan memiliki sistem informasi yang memadai dengan salah satu kriterianya adalah perusahaan asuransi dapat menyediakan layanan digital.
Sementara dai sisi sumber daya manusia, perusahaan asuransi yang memasarkan produk asuransi kesehatan wajib memiliki Dewan Penasihat Medis atau Medical Advisory Board (DPM/MAB).
Menurut Ogi, standar yang diminta tersebut bertujuan untuk pembenahan dan perbaikan ekosistem asuransi kesehatan dengan praktik pengelolaan risiko yang lebih baik.
"Hal ini dapat dilakukan melalui pemanfaatan data digital kesehatan atas efektivitas dan efisiensi layanan medis yang diberikan, serta pembentukan MAB yang memberikan masukan dari sisi medis atas layanan yang diberikan oleh fasilitas kesehatan," pungkasnya.