Bisnis.com, JAKARTA - Perkembangan teknologi membuat masyarakat berekspektasi mengenai akses layanan keuangan yang cepat dan praktis. Di satu sisi, ini adalah peluang untuk melebarkan pasar asuransi, tetapi di lain sisi, ada keterbatasan yang tidak kalah serius.
Riset terbaru Nielsen -- perusahaan informasi yang fokus menekuni penelitian di bidang pemasaran dan konsumen -- menunjukkan, teknologi memang mengubah banyak hal dalam keseharian masyarakat, tetapi perilaku yang mencerminkan kebutuhan setiap individu, tidak banyak berubah.
Inggit Primadevi, Associate Director Nielsen menjelaskan, hal tersebut tercermin salah satunya dari kebutuhan masyarakat yang tidak pernah surut untuk mengakses informasi, meski media telah mengalami transformasi. Hal yang sama, katanya, juga terjadi dalam industri asuransi.
Industri keuangan merupakan salah satu yang sedang mengalami perkembangan pesat dengan adanya perkembangan teknologi, dua lainnya yakni media dan hiburan. Oleh karena itulah, digitalisasi industri asuransi, yang diindikasikan dengan kemunculan asuransi digital atau insurtech, merupakan keniscayaan.
"Meski infrastruktur [internet] masih terus dibangun, pelaku asuransi sudah banyak mem-blow up [insurtech], sehingga sekarang masyarakat sudah siap untuk memulainya," kata Inggit dalam sebuah seminar asuransi internasional yang digelar AAUI di Jakarta, seperti dikutip Bisnis.com, Senin (30/4/2018).
Berdasarkan riset online Nielsen yang melibatkan 508 orang di Jakarta, Surabaya, Medan, dan Makassar belum lama ini, 52% responden telah sadar bahwa produk asuransi telah tersedia secara online. Sebanyak 54% di antaranya mencari informasi mengenai asuransi melalui internet. Namun, dari jumlah responden tersebut, hanya 19% saja yang pernah mengajukan aplikasi asuransi secara online.
Baca Juga
Dari riset yang sama juga diketahui, proses klaim yang cepat menjadi pertimbangan tertinggi bagi calon pemegang polis untuk memilih perusahaan asuransi. Linier dengan hal tersebut, 76% responden berekspektasi informasi mengenai klaim tersedia di website perusahaan bersangkutan. Informasi lain yang diharapkan ada di website perusahaan antara lain, status klaim (68%), deskripsi produk (66%), simulasi premi asuransi (64%), status pengajuan (63%) dan syarat ketentuan (57%).
Lantas, di era digital yang dinamis ini, bagaimana industri asuransi dengan karakteristik dan kompleksitas produk, bisa bertahan?
Inggit menjelaskan tiga langkah praktis agar perusahaan asuransi dapat bertahan saat dihadapkan pada tantangan teknologi. Pertama, fokus pada produk yang langsung masuk pada pengalaman personal nasabah, produk-produk yang bertalian dengan kebutuhan masyarakat.
Kedua, ketika perusahaan menghadirkan channel distribusi online, pastikan bahwa saluran tersebut memfasilitasi end-to-end process.
"Jangan hanya cara aplikasi yang difasilitasi secara online, tetapi juga keseluruhan prosesnya mulai dari mereka membeli hingga klaim," ujarnya.
Ketiga, mendulang kepercayaan dari nasabah. Inggit mengatakan kunci dari hal tersebut adalah presensi perusahaan asuransi sedekat mungkin dengan nasabah, baik melalui kantor-kantor cabang yang tersedia di daerah, keberadaan agen, atau bahkan iklan-iklan di media luar ruang.
"Dalam industri asuransi, kepercayaan adalah yang terpenting. Nasabah mungkin tidak akan membaca laporan keuangan Anda, tetapi mereka ingin melihat kehadiran perusahaan asuransi," ujarnya.
KETERBATASAN
Selagi perkembangan teknologi terus berjalan, dan industri keuangan, khususnya asuransi dituntut untuk menyesuaikan. Pemerintah dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) belum memfasilitasi dengan regulasi yang memadai.
Direktur Pengawas Asuransi OJK Ahmad Nasrullah mengakui regulasi masih menjadi tantangan utama regulator dalam mendukung perkembangan pasar.
"Ini tantangan bagi regulator untuk bisa mngatur. Saya kira kami sedang dalam diskusi dengan stakeholder. Marketnya sendiri sudah tumbuh dengan adanya agregator yang menjual produk asuransi," kata Nasrullah.
Adanya agregator tersebut, lanjut Nasrullah sudah menjadi polemik tersendiri di kalangan pemasar produk asuransi. Pihak yang merasa dirugikan dengan adanya agregator adalah pialang dan agen yang harus mendapat izin dan terdaftar di OJK.
Nasrullah melanjutkan, menjadi tantangan pula bagi regulator untuk menjaga keseimbangan antara dukungan terhadap pasar dan melakukan perlindungan konsumen. Regulasi yang kini tengah diupayakan, lanjutnya, diharapkan menjadikan pasar bertumbuh cepat dengan tidak menyediakan celah bagi terjadinya penyimpangan di lapangan.
"Kami berkomitmen untuk berperan dalam pengembangan kontribusi teknologi dari sisi regulasi. Harapannya implementasinya akan lebih mudah," katanya.
Sementara itu, Doddy Achmad Sudiyar Dalimunthe, Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) mengatakan sejauh ini OJK telah melibatkan pihaknya dan sejumlah asosiasi lain dalam menyusun regulasi tersebut. Dua hal yang menjadi perdebatan yakni terkait penggunaan materai digital atau e-stamp dan tanda tangan digital atau e-signature.
Sedangkan, e-signature telah jamak digunakan dalam praktik penjualan travel insurance atau asuransi perjalanan. Dengan demikian, ia mendorong OJK untuk segera merampungkannya agar regulasi yang ada tidak terlampau tertinggal oleh perkembangan teknologi.
"OJK mengakui memang regulasinya belum sampai sejauh itu. Memang regulasi itu selalu selangkah di belakang teknologi," ujar Doddy.