Bisnis.com, JAKARTA — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merevisi target pertumbuhan kredit perbankan pada tahun ini menjadi 8,99%, lebih rendah dari proyeksi awal 10,05%. Revisi itu tidak lepas dari prospek kondisi ekonomi semester II/2025.
Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar menyampaikan proyeksi terbaru itu dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR, Jumat (22/8/2025). Menurutnya, perlambatan ini sejalan dengan tren moderasi penyaluran kredit di seluruh segmen, meski risiko kredit secara umum masih terjaga dengan rasio kredit macet atau NPL industri berada di level 2,28%.
"Namun, untuk NPL UMKM mencatatkan cukup tinggi, sebesar 4,53%,” kata Mahendra, dalam rapat kerja dengan Menteri Keuangan, Kepala Bappenas, Gubernur BI dan Ketua DK OJK Bersama Komisi XI DPR, Jumat (22/8/2025).
Data OJK mencatat, pertumbuhan kredit industri per Juli 2025 sebesar 7,03% secara tahunan, melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 7,77%. Pada periode yang sama, kredit korporasi juga turun ke 9,56% dari 10,78% secara tahunan (year on year/YoY), sementara kredit UMKM nyaris stagnan di 1,81% setelah Juni tumbuh 2,18%.
Kondisi tersebut kemudian membuat OJK menurunkan proyeksi kredit dalam revisi rencana bisnis bank (RBB) yang diajukan bulan ini. Di sisi lain, untuk pertumbuhan dana pihak ketiga diperkirakan akan mencapai 9,96% (YoY), direvisi dari RBB semula yang diperkirakan 12,18% (YoY).
Ekonom Senior dan Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Ryan Kiryanto menilai penurunan target ini sebetulnya tidak perlu dibaca sebagai sesuatu yang negatif.
Baca Juga
Menurutnya, basis pertumbuhan kredit tahun lalu sudah tinggi sehingga kenaikan tahun ini meskipun hanya 7%—8% (YoY) tetap menunjukkan ekspansi yang sehat. Dia menilai dengan situasi ekonomi global maupun domestik yang masih 'so-so' atau relatif biasa-biasa saja, capaian pertumbuhan tersebut sudah bagus.
Ryan juga mengingatkan agar fungsi intermediasi keuangan jangan hanya dilihat dari perbankan. Menurutnya, pembiayaan juga datang dari jalur lain, mulai dari pasar modal melalui IPO, penerbitan obligasi, hingga peer to peer lending dan security crowd funding.
"Kalau ditotal dengan rising fund dari capital market, IPO, obligasi, fintech, dan security crowd funding, pertumbuhan absolut bisa setara 9%, 10%, bahkan 11%, jadi jangan semata-mata membaca intermediasi hanya dari bank,” kata Kiryanto kepada Bisnis, Jumat (22/8/2025).
Soal sektor pembiayaan, Ryan menegaskan perbankan selalu mengikuti arah pertumbuhan ekonomi. Menurutnya, lima sektor utama yang paling menyerap pembiayaan masih manufaktur, pertanian, perdagangan, infrastruktur, dan konstruksi.
Namun, dia juga melihat sektor baru yang prospektif dalam beberapa tahun ke depan, yakni kesehatan dan pendidikan.
"Setelah pandemi Covid-19, belanja kesehatan, dan personal care melonjak, pendidikan juga makin mahal. Itu prospek sekali,” paparnya.
Selain itu, gaya hidup masyarakat yang makin bergeser membuat sektor jasa, termasuk layanan pengiriman dan logistik, tumbuh cepat dan layak menjadi sasaran pembiayaan.
Ryan turut menyampaikan bahwa menurutnya, perbankan bisa menyelaraskan arah pembiayaan dengan prioritas fiskal pemerintah. Dia menekankan pentingnya bank mengarahkan kredit ke sektor-sektor yang menjadi fokus anggaran negara.
“Makanya yang delapan prioritas itu harus dibidik oleh perbankan,” katanya.
Ryan mencontohkan salah satu program pemerintah berupa pemberian makan bergizi gratis yang dinilainya memiliki prospek besar. Menurutnya, program tersebut layak mendapat dukungan pembiayaan perbankan.
Namun demikian, Ryan juga mengingatkan agar perbankan tetap memegang prinsip kehati-hatian dalam menyalurkan pembiayaan dengan menerapkan prinsip 5C yaitu character, capacity, capital, condition, dan collateral. Perbankan juga harus memperhatikan tiga pilar penilaian kelayakan kredit, yakni prospek usaha, kemampuan membayar, dan dukungan dari grup usaha.
"Itu harus masuk di situ semua. Kalau dari 5C itu ada 1C yang nggak terpenuhi, berarti kredit itu tidak layak dibiayai," pungkasnya.
Ekonomi Masih Lesu, Berpengaruh ke Kredit
Pengamat perbankan Binus University Doddy Ariefianto menyebut koreksi target OJK sebagai langkah realistis. Menurutnya, hingga semester I/2025 pertumbuhan kredit baru 2,91% (year to date/YtD). Jika tren serupa berlanjut, pertumbuhan kredit diproyeksikan hanya mencapai 6%.
“Saya kira faktor utama penurunan proyeksi loan growth ini karena prospek ekonomi, daya beli masyarakat stagnan, harga komoditas stagnan, ditambah beban tarif ekspor ke AS. Berat bagi kredit nasional untuk mencapai 10% tahun ini,” ujarnya.
Sementara dari sisi industri, Presiden Direktur PT Bank CIMB Niaga Tbk. (BNGA) Lani Darmawan menilai proyeksi yang lebih landai sejalan dengan kondisi di lapangan.
“Setuju dengan OJK untuk kredit lebih landai di semester dua,” kata Lani kepada Bisnis.
Dia juga menyampaikan, untuk mencapai anga tersebut salah satu pendorong seperti dukungan regulator sudah cukup kuat, khususnya melalui insentif likuiditas makroprudensial (KLM) dari Bank Indonesia.
“Stimulus dari regulator saya rasa sudah baik, terutama lewat KLM,” ujarnya.
Dengan demikian, menurut Lani, CIMB Niaga akan tetap menjaga fokus pada pembiayaan sektor-sektor prioritas.
“Ke depan, kami tetap fokus di UKM dan pembiayaan otomotif melalui KKB,” jelasnya.
Optimisme datang dari PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI). Direktur Utama BRI Hery Gunardi menyebut likuiditas perbankan semakin longgar seiring naiknya DPK 7% (YoY) pada Juli 2025, apalagi penurunan BI rate 100 bps sepanjang tahun ini jadi angin segar. Kondisi tersebut memberi ruang bagi bank menekan biaya dana sekaligus ekspansi kredit.
“Kredit BRI semester I tumbuh 6% [YoY] menjadi Rp1.416,6 triliun, ditopang segmen mikro dan konsumer. Kami juga menargetkan penyaluran KUR Rp175 triliun tahun ini bisa tercapai di paruh kedua,” katanya.