Bisnis.com, JAKARTA – Penurunan jumlah premi asuransi gempa yang wajib disesikan oleh pelaku asuransi kerugian kepada PT Reasuransi Maipark Indonesia dinilai berdampak pada validitas basis data yang dimiliki industri terkait proteksi bencana.
Ahmad Fauzie Darwis, Presiden Direktur PT Reasuransi Maipark Indonesia, mengatakan pada 2017 memang terjadi penurunan sesi wajib dari produk asuransi gempa perusahaan asuransi kerugian, yakni sekitar 6% – 7% dari tahun sebelumnya.
Dia mengatakan pihaknya belum mendapatkan data final sesi wajib 2018. Namun, dia memperkirakan bakal terjadi peningkatan portofolio lantaran adanya sejumlah bencana besar, yakni gempa dan tsunami yang terjadi pada tahun lalu.
“Sesi wajib itu untuk memastikan bahwa data yang diterima oleh Maipark itu bisa menggambarkan risiko secara nasional,” ujarnya kepada Bisnis, Jumat (15/2/2019).
Ahmad mengakui penurunan sesi wajib itu akibat problem biaya akuisisi tambahan atauengineering fee yang terjadi di industri dalam beberapa tahun terakhir. Dia menjelaskan perusahaan asuransi kerugian tidak mensesikan produk asuransi gempa kepada Maipark lantaran dianggap memberikan komisi yang lebih rendah dari yang berlaku di pasar.
Pasalnya, untuk mendapatkan bisnis, perusahaan asuransi umum mesti mengeluarkan biaya lebih dari 30%, sedangkan Maipark hanya memberikan komisi sekitar 27,5%. Dengan begitu, ada selisih biaya yang mesti ditanggung oleh perusahaan asuransi.
“Itulah yang kami sebut sebagai gempa di pasar, karena industri sudah menjual produk dengan biaya yang cukup mahal. Dampaknya ini ke mana-mana, kami yang kena paling akhir.”
Ahmad menjelaskan kondisi ini berkorelasi dengan faktar terjadi tren peningkatan defisit neraca pembayaran jasa asuransi. Maipark, jelas dia, bisa memetakan aliran premi dari produk proteksi gempa bumi yang seharusnya disesikan ke Maipark, tetapi justru mengarah ke luar negeri.
“Disipilin teman-teman dalam memberikan sesi haru dijalankan. Karena Maipark milik mereka sendiri, bukan orang lain.”