Bisnis.com, JAKARTA – Faktor tekanan dari biaya dana membuat margin bunga bersih PT Bank BTPN Tbk. turun dan imbasnya menggerus laba pada kuartal I/2019.
Bank BTPN mencatatkan penurunan laba bersih konsolidasi dari Rp535 miliar pada Maret 2018 menjadi Rp507 miliar atau turun 5,3% secara year on year. Penurunan laba bersih tersebut sejalan dengan rasio margin bunga bersih atau net interest margin (NIM) yang juga menurun dari 11,30% per kuartal I/2018 menjadi 6,95% pada kuartal I/2019.
Turunnya laba bank yang merupakan hasil penggabungan usaha atau merger antara PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk. dengan PT Bank Sumitomo Mitsui Indonesia (SMBCI) ini antara lain disebabkan oleh faktor tekanan dari sisi biaya dana.
“Interest rate naik 175 bps, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat juga melemah, sedangkan waktu jelang merger yang lalu kami menambah persediaan likuiditas supaya aman. Sekarang ada sedikit tekanan dari sisi margin, tapi kami tidak bisa pass-on semua ke nasabah karena sebagian kredit menggunakan tingkat bunga tetap,” kata Hanna Tantani, Chief Financial Officer Bank BTPN, saat ditemui di Jakarta, Kamis (25/4/2019).
Selain faktor margin bunga, proses pelaksanaan merger juga memiliki dampak terhadap pembentukan laba. Waktu efektif merger per 1 Februari 2019 membuat entitas baru tersebut hanya bekerja efektif dua bulan selama Februari dan Maret.
“Pendapatan usaha SMBCI selama sebulan pertama sebelum merger tidak bisa digabung sebagai pendapatan kami. Laba dari SMBCI pada Januari dihitung sebagai return earning, tidak diklaim sebagai laba BTPN,” tambahnya.
Baca Juga
Kendati demikian, lanjut Hanna, posisi pergerakan laba tersebut telah diprediksi sejak awal dan masih berjalan sesuai ekspektasi. Apalagi penurunan NIM masih terkompensasi dengan kenaikan pendapatan berbasis komisi atau fee based income (FBI) yang saat ini porsinya mencapai 10%–15% dari total revenue.
“Melihat perkembangan saat ini, kami harap suku bunga acuan tidak naik lagi dan kompetisi di pasar tidak terlalu ketat sehingga tekanan biaya dana dapat lebih stabil,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Executive Vice President Head of Wholesale Banking Group BTPN Nathan Christianto menambahkan pihaknya akan memaksimalkan potensi pendapatan fee dari bisnis korporasi.
“Ada banyak transaksi yang dapat dikembangkan untuk menaikkan FBI di waktu yang akan datang seperti peluang dari trade finance, valuta asing, dan transaksi sindikasi,” ujarnya.
Bank BTPN melayani segmen korporasi skala besar seperti badan usaha milik negara, perusahaan multinasional, konglomerasi lokal, serta perusahaan Jepang. Pembiayaan korporasi antara lain mengalir ke sektor infrastruktur dan industri pendukung.
President & CEO Bank BTPN Ongki Wanadjati Dana menambahkan sebelum merger, bisnis korporasi dikelola oleh SMBCI dan kini portofolionya dicatatkan dalam neraca BTPN. Hingga Maret 2019, pembiayaan korporasi tumbuh 12% dari Rp64,3 triliun menjadi Rp71,9 triliun. Secara keseluruhan, total kredit dan pembiayaan BTPN tumbuh 114% (YoY) menjadi Rp139,84 triliun.
Adapun, untuk pendanaan secara keseluruhan naik 105% menjadi Rp156,6 triliun. Khusus untuk penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) naik 56,1% menjadi Rp98,05 triliun.
Pendanaan dan penyaluran kredit berkontribusi mengerek aset BTPN hingga 101% menjadi Rp192,2 triliun. Kenaikan aset dan kredit tersebut merupakan gabungan dari neraca BTPN dan SMBCI.
Ongki melanjutkan, pihaknya masih optimistis mampu menggenjot pertumbuhan bisnis dalam tiga kuartal mendatang yang dimotori oleh segmen kredit korporasi, UKM, konsumer, serta pembiayaan prasejahtera produktif melalui anak usahanya BTPN Syariah.
“Kinerja kami cukup baik, tetap tumbuh selama 3 bulan ini meskipun berada dalam tahap awal konsolidasi. Kami optimistis mampu tumbuh sejalan dengan industri,” paparnya.