Bisnis.com, JAKARTA — Bank Indonesia (BI) menyatakan sudah memanfaatkan big data atau maha data dalam merumuskan kebijakan di bidang moneter maupun sistem pembayaran.
Deputi Gubernur BI Erwin Rijanto mengatakan bahwa penggunaan big data dalam perumusan kebijakan bank sentral sudah dilakukan secara bertahap. Secara global, praktik tersebut juga sudah dilakukan oleh bank-bank sentral di seluruh dunia.
"Berdasarkan laporan IFC [International Finance Corporation], analisis big data ke dalam pembuatan kebijakan dan proses pengawasan telah meningkat secara signifikan, dari 30% pada 2015 menjadi hampir 60% pada 2017, dan semakin tinggi tahun ini," katanya seperti dikutip dari buletin Bank for International Settlements (BIS), Senin (3/6/2019).
Erwin menjelaskan, setidaknya ada 3 faktor pendorong percepatan adopsi big data. Pertama, masifnya peningkatan rekaman kegiatan dalam format digital. Hal ini memungkinkan penyimpanan data dan daya komputasi yang semakin menurun ke depannya.
Kedua, berubahnya paradigma analitis data. Data konvensional dan analisis ekonometri biasanya diterapkan pada kumpulan data dan deret waktu. Namun, saat ini hal tersebut berubah dari analisis agregat menjadi metode analitis yang bergantung pada kumpulan data granular atau besar, data individual, transaksi per transaksi, atau centang-per-centang.
"Tingkat granularitas yang tinggi dalam data memungkinkan kita untuk mengungkapkan pola dan perilaku agen ekonomi yang menarik," ucapnya.
Ketiga, lebih banyak aplikasi analitik prediktif selain statistik deskriptif. Big data menawarkan nilai tambah yang memungkinkan bank sentral untuk mendasarkan prediksi pada tipe data yang lebih kaya, lebih granular, dan lebih bervariasi, termasuk data yang tidak terstruktur seperti teks dan gambar.