Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Defisit BPJS Kesehatan Terus Menghantui

Pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) hingga tahun keenam ini masih dibayangi oleh masalah defisit namun belum menemukan solusinya oleh pemerintah.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar (dari kanan), Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi, Staf Khusus Menteri Sosial, Febri Hendri Antoni Arief dan Kepala Humas BPJS Kesehatan M. Iqbal Anas Ma'ruf memberikan penjelasan pada konferensi pers mengenai peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) Non Basis Data Terpadu (BDT), di Jakarta, Rabu (31/7/2019)./Bisnis-Nurul Hidayat
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar (dari kanan), Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi, Staf Khusus Menteri Sosial, Febri Hendri Antoni Arief dan Kepala Humas BPJS Kesehatan M. Iqbal Anas Ma'ruf memberikan penjelasan pada konferensi pers mengenai peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) Non Basis Data Terpadu (BDT), di Jakarta, Rabu (31/7/2019)./Bisnis-Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA -- Pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) hingga tahun keenam ini masih dibayangi oleh masalah defisit namun belum menemukan solusinya oleh pemerintah.

Timboel Siregar, Koordinator Advokasi BPJS Watch menilai, untuk tahun ini diperkirakan defisi JKN mencapai Rp28 triliun.

Dengan utang klaim ke rumah sakit per 31 Desember 2018 sebesar Rp9,1 triliun dan potensi defisit bulanan mencapai Rp1,5 triliun lebih maka perkiraan defisit sebesar Rp28 triliun tentunya berpotensi besar terjadi.

Timboel menyebut dari sisi penganggaran program JKN memang riskan defisit. Dalam Rencana Kerja Anggaran Tahunan (RKAT) 2019, pendapatan iuran ditetapkan sebesar Rp88,8 triliun dengan anggaran biaya manfaat sebesar Rp102,02 triliun dan anggaran beban operasional BPJS sebesar Rp4,47 triliun.

Membaca laporan keuangan di akhir Juni 2019, tercatat utang klaim ke RS sebesar Rp9,23 triliun naik sekitar Rp4 triliun bola dibandingkan utang klaim per akhir April 2019 yaitu sekitar Rp5,3 triliun.

"Dalam dua bulan terjadi kenaikan utang klaim sebesar Rp4 triliun, atau dalam sebulan bertambah Rp2 triliun," terang Timboel, Sabtu (3/8/2019).

Timboel menyebut dalam RKAT sampai 30 Juni 2019 Biaya Manfaat ditetapkan Rp49,63 triliun. Namun dalam realisasinya Biaya Manfaat yang terjadi sebesar Rp51,61 triliun. Ada kelebihan sekitar Rp2 triliun, dari anggaran yang telah ditetapkan.

Timboel memprediksi keelebihan sekitar Rp2 triliun ini dikontribusi oleh lebih tingginya realisasi pembiayaan Rawat Jalan Tingkat Pertama (RJTP) sebesar Rp1,47 triliun, dibandingkan RKAT-nya yang ditetapkan sebesar Rp5,98 triliun.

"Da dikontribusi juga oleh pembiayaan Rawat Jalan Tingkat Lanjut (RJTL) yang lebih sekitar Rp1 triliun dari RKAT yang ditetapkan sebesar Rp14,1 triliun. Untuk pos RITP dan RITL, realisasinya lebih rendah dari RKAT," pungkasnya.

Sementara untuk Pos Pendapatan Iuran, realisasi pendapatan iuran per 30 Juni 2019 mengalami kelebihan hampir sebesar Rp1 triliun dari penetapan RKAT sebesar Rp43,4 triliun.

Namun demikian prestasi baik Direksi BPJS Kesehatan dari sisi Penerimaan Iuran ini masih dibayangi tinggiya Piutang Iuran yang mencapai Rp3,43 triliun.

"Ini masih pencatatan Piutang sebulan, belum menghitung bulan-bulan sebelumnya yaitu 23 bulan lainnya," tuturnya.

Timboel menilai dari paparan angka-angka di atas dalam satu semester, bisa menggambarkan bahwa potensi defisit program JKN sebesar Rp28 triliun akan benar-benar terjadi.

"Dan mungkin bisa lebih besar lagi," ungkapnya.

Apabila posisi kelebihan Rp2 triliun, dari pos biaya manfaat dan Rp1 triliun, dari pos penerimaan iuran terjadi lagi di semester kedua. Maka Timboel memprediksi defisitnya bisa mencapai Rp30 triliun.

Demikian juga dengan utang klaim ke RS yang dalam sebulan mencapai kenaikan Rp2 triliun.

Timboel menilai cash flow RS akan semakin sulit sehingga akan berdampak pada pelayanan kesehatan kepada peserta JKN.

Hingga saat ini Pemerintah masih belum mampu untuk mengatasi masalah defisit yang menyebabkan semakin besarnya utang klaim ke RS.

"Masalah defisit adalah masalah klasik tahunan yang seharusnya 0emerintah sudah bisa belajar dari kejadian defisit tahun-tahun sebelumnya sehingga kata “mengkaji” dan “wacana” sudah tidak perlu lagi disampaikan ke publik," tegasnya.

Dia meyakini pemerintah sudah tahu akar penyebab terjadinya defisit. Dia pun meminta Pemerintah harus mengambil sikap cepat atas masalah ini.

"Jangan biarkan utang klaim terus membumbung tinggi sementara tindaklanjut mengkaji dan berwacana tidak selesai juga" ungkap Timboel.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper