Bisnis.com, JAKARTA -- Di tengah kondisi ketidakpastian global, Bank Indonesia diprediksi lebih aman melakukan pelonggaran kebijakan makroprudensial ketimbang menurunkan suku bunga acuan.
Peneliti Bidang Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap Pulungan menyatakan, jelang pengumuman Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 22 Agustus 2019, BI lebih baik kembali menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM). Tujuannya menurut Abdul Manap agar ada relaksasi dana perbankan.
"Sebab sejak lama pertumbuhan kredit lebih tinggi dari pertumbuhan DPK [Dana Pihak Ketiga], sehingga menyebabkan liquidity shortage, sehingga perang suku bunga terus terjadi," ujar Abdul Manap kepada Bisnis.com, Rabu (21/8/2019).
Dia menyatakan dengan langkah tersebut, koreksi suku bunga acuan yang lalu bisa menjadi tidak terlihat pengaruhnya terhadap suku bunga perbankan. Abdul Manap juga memprediksi jika suku bunga acuan tetap diturunkan, akibatnya capital outflow akan semakin deras dan menyebabkan depresiasi rupiah.
Oleh sebab itu, dia memprediksi hasil RDG Agustus 2019 ini, BI akan tetap mempertahankan suku bunganya.
"Menurut saya, BI akan menahan suku bunga acuan untuk mengantisipasi gejolak global dan pelemahan ekonomi nasional," jelas Abdul Manap.
Adapun dari faktor domestik pertumbuhan ekonomi tidak begitu memuaskan, yakni 5,05% pada kuartal II/2019.
Hal ini, menurut dia, memberikan sinyal kepada pasar bahwa ekonomi hingga saat ini hanya mampu bergerak pada sekitar 5%-an. Alhasil pertumbuhan ekonomi rendah ini memberi imbas terhadap inflasi yang relatif rendah.
"Tetapi pertumbuhan ekonomi ini jauh dari cita-cita pemerintah 7%," kata Abdul Manap.
Faktor domestik kedua mempertahankan suku bunga acuan 5,75% karena defisit neraca perdagangan masih tinggi. Defisit akumulatif Januari 2019 sampai Juli 2019 mencapai US$1,89 miliar. Sementara itu, untuk defisit neraca transaksi berjalan menembus level aman sekitar 3,04% pada kuartal II/2019.
Faktor domestik berikutnya karena pertumbuhan kredit masih bergerak sekitar 12% sehingga tidak ada tekanan terhadap lonjakan jumlah uang beredar.
Faktor domestik lain sisi fiskal, menurut Abdul Manap, terkait penerimaan negara yang tertekan karena perlambatan penerimaan pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Dari faktor global pertama, Abdul Manap menilai tensi perang dagang masih memanas, dan AS akan mengenakan tarif impor pada barang China bernilai sekitar US$300 miliar.
Faktor global kedua adalah devaluasi yuan yang menyebabkan gejolak di pasar keuangan.
"Sehingga berpengaruh terhadap pasar keuangan dunia, meskipun koneksi antara Indonesia dengan China lebih kepada sisi perdagangan dibandingkan sisi keuangan," jelas Abdul Manap.
Faktor global lain yang diantisipasi juga terkait munculnya tanda-tanda krisis AS.