Bisnis.com, JAKARTA — PT Asuransi Jiwasraya (Persero) diduga berjalan dengan skema ponzi saat menjual produk JS Plan, yang kemudian menjadi sumber pendapatan utama perseroan hingga 2017.
Direktur Utama Jiwasraya Hexana Tri Sasongko menjelaskan bahwa pada 2012 perseroan meluncurkan produk JS Plan dengan masa proteksi lima tahun. Produk yang menjanjikan imbal hasil 9%–13% dalam satu tahun tersebut menjadi magnet bagi para nasabah karena iming-iming yang tinggi.
Pada 2013, premi JS Plan tercatat senilai Rp1,08 triliun atau 18,7% dari total premi sebesar Rp5,77 triliun. Porsi premi JS Plan terus melonjak hingga pada 2017 mencapai Rp16,54 triliun atau 75,3% dari total premi senilai Rp21,91 triliun.
Premi JS Plan yang menjadi dominan membuat perseroan terbebani tanggung jawab pembayaran imbal hasil setiap tahunnya. Namun, kinerja investasi yang tidak dapat memenuhi janji imbal hasil membuat perseroan bergantung kepada premi lain untuk membayarkan klaim, mirip dengan skema investasi ponzi.
"Bahaya ponzi tuh begini, uang peserta baru digunakan untuk bayar [klaim]. Mungkin, tapi dari awal sebenarnya tidak berpikir ponzi, tapi ujung-ujungnya [menjadi] ponzi," ujar Hexana pada Jumat (27/12/2019).
Menurut dia, skema ponzi terus diterapkan hingga puncaknya pada Oktober 2018 perseroan 'menyerah' untuk membayarkan klaim. Terus terakumulasinya klaim mencapai titik jenuh karena tidak mampu lagi dipenuhi oleh premi baru dan kinerja investasi yang boncos.
"Perusahaan menjanjikan return yang tinggi kepada pemegang polis, antara 2,50% sampai dengan 6,25% di atas bunga deposito bank Himbara dan obligasi pemerintah," ujar Hexana.
Alhasil, berdasarkan dokumen kondisi keuangan Jiwasraya yang diperoleh Bisnis.com, per 30 September 2019 perseroan mencatatkan kerugian Rp13,7 triliun dan ekuitas negatif Rp23,92 triliun. Jiwasraya pun memiliki klaim jatuh tempo Rp12,4 triliun pada akhir 2019 yang tidak dapat dipenuhi.
Aset perseroan pun pada 30 September 2019 tercatat senilai Rp25,68 triliun. Jumlahnya terus menurun dari posisi 31 Desember 2018 senilai Rp36,23 triliun dan pada 31 Desember 2017 senilai Rp45,68 triliun.