Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Corona Jadi Bencana Nasional, Ini Imbauan OJK Soal Kredit dan Polis Asuransi

Situasi force majeure dalam status bencana nasional, semua pihak dapat keluar/tidak mengikuti ketentuan normal dalam perjanjian/kontrak. Kondisi ini dapat menjadi alasan bagi debitur untuk 'mengingkari' kontrak bisnis.
Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso memberikan kata sambutan pada Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan 2019 dan Arahan Presiden RI di Jakarta, Jumat (11/1/2019). Bisnis/Nurul Hidayat
Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso memberikan kata sambutan pada Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan 2019 dan Arahan Presiden RI di Jakarta, Jumat (11/1/2019). Bisnis/Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA – Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso menekankan bahwa kontrak usaha dan bisnis tetap terikat pada ketentuan yang berlaku kendati pemerintah mengumumkan pandemi corona (Covid-19) sebagai bencana nasional.

Menurut Wimboh, hal itu termasuk untuk kontrak kredit dan pembayaran polis asuransi yang harus tetap berjalan sebagaimana biasa tanpa ada pengecualian.

Adapun, situasi force majeure dalam status bencana nasional, semua pihak dapat keluar/tidak mengikuti ketentuan normal dalam perjanjian/kontrak. Kondisi ini dapat menjadi alasan bagi debitur untuk 'mengingkari' kontrak bisnis.

Wimboh juga mengingatkan kembali pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD bahwa Keputusan Presiden (Keppres) nomor 12 tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional, tidak dapat dijadikan dasar sebagai force majeure untuk membatalkan kontrak.

“Keppres bencana nasional tidak bisa jadi dasar force majeure. Jadi semua kontrak masih berlaku dan seperti biasa, tidak berarti kewajiban hilang,” kata Wimboh  dalam pertemuan virtual dengan sejumlah pimpinan redaksi media massa, Kamis (16/4/2020) malam.  

Sebelumnya, beberapa pengamat hukum menilai penetapan status bencana nasional dapat menjadi alasan kuat bagi para pihak untuk tidak mampu memenuhi kewajibannya akibat kondisi yang tidak dapat diprediksi dan dihindari, atau istilahnya force majeure atau keadaaan memaksa.

Para praktisi menyebutkan bahwa pelaku usaha dapat menggunakan penyebaran Covid-19 sebagai alasan force majeure saat tidak mampu memenuhi kewajiban perjanjian. Sebab, dalam keadaaan force majeure, pihak yang tidak menjalankan kewajibannya tidak bisa dinyatakan wanprestasi.

Implikasi force majeure ini tampak dalam beberapa aspek, antara lain pemutusan hubungan kerja dengan karyawan serta pembayaran kredit oleh para debitur.

Corona Jadi Bencana Nasional, Ini Imbauan OJK Soal Kredit dan Polis Asuransi

Karyawan berada di dekat logo Otoritas Jasa Keuangan di Jakarta, Jumat (17/1/2020). Bisnis/Abdullah Azzam

Disinggung mengenai pelaku usaha yang banyak mengalami tekanan hingga terpaksa mengurangi karyawan dan sulit memenuhi kewajibannya ke bank, Wimboh mengatakan kondisi tersebut tidak bisa dihindari.

“Kita tahu semua pengusaha nafasnya pendek. Beberapa hanya bisa bertahan sampai September, Desember atau sekitar 4 bulan-6 bulan. Napasnya tergantung dari kondisi masing-masing. Sekarang pengusaha ini agak punya napas, karena 'oksigen' masih ada, meskipun ada yang panjang dan ada yang pendek. Tapi yang di depan mata itu yang gak bisa makan, bansos [bansos] diprioritaskan untuk itu,” tuturnya.

Wimboh menjelaskan debitur perbankan secara umum terdiri dari tiga klaster usaha. Pertama, UMKM terdiri dari usaha mikro, kecil, menengah, sektor-sektor informal, serta debitur kredit usaha rakyat (KUR). Dua klaster berikutnya yakni BUMN dan swasta.

Untuk kelompok debitur BUMN, lazimnya adalah perusahaan berskala besar dan jumlahnya tidak terlalu banyak sehingga bank masih dapat membahas skema restruturisasi pinjaman yang paling sesuai, dengan mempertimbangkan kekuatan pemerintah dan perbankan.

“Klaster BUMN itu antara lain ada PLN, Pertamina, Garuda, Pelindo dan banyak lagi.  Ini bisa satu per satu [direstrukturisasi], tapi kalau ojek dan nelayan ini tidak bisa satu-satu, jadi dari pemerintah diberikan bansos dan kreditnya juga kita restrukrisasi,” ujarnya.

Adapun, untuk kelompok usaha swasta, lanjut Wimboh, juga tidak dapat direstrukturisasi satu per satu tapi harus dengan mempertimbangkan kondisi grup usaha secara terintegrasi.

“Karena ada swasta yang punya anak, cucu, atau sister company, ini kita integrasikan. Kalau harus satu per satu direstrukturisasi, ternyata induk usahanya kaya banget, ya gak bisa … Pemerintah tentu akan lihat semua, tidak berarti heavy ke UMKM atau BUMN saja. Swasta juga akan dilihat sebab swasta kalau sampai tidak recover dengan cepat, tenaga kerjanya tidak bisa cepat bekerja.” 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper