Bisnis.com, JAKARTA – Di tengah pandemi Covid-19, industri perbankan lebih berhati-hati menyalurkan kredit, khususnya dalam denominasi dolar Amerika Serikat.
Hal ini dinyatakan oleh Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk. Jahja Setiaatmadja. Dia beralasan, perseroan telah belajar dari pengalaman saat krisis pada 1998 sehingga kini enggan memberikan kredit valuta asing (valas) secara jor-joran.
Menurut Jahja, sebelum krisis, persentase kredit valas perseroan bisa sampai dua digit, yakni di kisaran 30 persen – 50 persen dari keseluruhan portofolio. Namun, saat ini, BCA menjaga penyalurannya menjadi hanya satu digit.
“Sekarang BCA, saya hanya berani portofolio dolar di 8 persen. Dulu bisa sampai 30 persen – 50 persen. Sampai segitu jauh kita konservatif untuk menngurangi risisko dan menjaga agar saat things happen, kita tetap well protected dari segi risk management,” kata Jahja, Rabu (10/6/2020).
Bankir senior ini bercerita, sebelum masa krisis 1998, bank sangat jor-joran menyalurkan kredit valas serta menghimpun dana valas. Hal ini juga dipicu permintaan yang tinggi dari para debitur, terutama pengusaha besar.
Para pelaku usaha saat itu juga banyak menarik dolar karena berspekulasi akan dapat menarik untung ketika sell forward. Beberapa tahun sebelum krisis, nilai tukar rupiah memang cukup stabil dan menguat.
Baca Juga
“Saat rupiah menguat tahun 1996, banyak spekulasi pasti untung sell forward dolar, bahkan banyak eksportir gunakan hal-hal itu melebihi ekspor yang mereka dapatkan. Apalagi saat itu tidak ada batasan jual beli dolar, seenaknya saja. Ratusan dolar juga bisa buy and sell at any time.”
Jahja mengingat, saat itu bank-bank besar rata-rata memiliki portofolio pinjaman dan dana dolar yang tinggi hingga 40 persen – 50 persen.
“Secara teoritis asalkan dana dan lending hampir sama atau itu istilahnya dalam perbankan square, harusnya tidak ada risiko, tapi kenyataan beda,” katanya.
Meski secara teori, rasio-rasio antara kredit dan Dana Pihak Ketiga (DPK) valas masih aman, industri perbankan tak luput dari goncangan. Ketika itu, nilai tukar rupiah menjadi sangat tidak terkendali. Kenaikannya mencapai hampir 500 persen, atau dari sekitar Rp2.000 ke kisaran Rp11.000 bahkan pernah menyentuh level Rp16.000.
Kondisi ini membuat sektor perbankan menjadi pincang sebab bank harus mengembalikan DPK nasabah dengan kurs berlaku. Padahal di sisi debitur, sebagian besar tidak mampu membayar kembali kredit dolar yang dipinjam dari bank.
“Ini yang membuat terjadinya gejolak yang merusak perbankan dan pengusaha. Learning lesson, bukan hanya bank tapi si pengusaha juga harus berhati-hati sekali dalam meminjam dolar. Apalagi kalau tidak dilandaskan dengan ekspor yang cukup,” tuturnya.