Bisnis.com, JAKARTA - Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani mengungkap bahwa industri asuransi perlu menyesuaikan kondisi pasar selepas pandemi Covid-19.
Hal ini diungkapnya dalam diskusi virtual 'Adaptasi Industri Perasuransian dalam Penyelamatan Ekonomi di Masa dan Pascapandemi' yang digelar oleh Dewan Asuransi Indonesia dan Gerakan Pakai Masker, Jumat (9/10/2020).
Aviliani menekankan bahwa masih ada potensi bagi industri asuransi untuk beradaptasi di tengah pandemi dan kondisi resesi yang dalam waktu dekat akan menimpa Indonesia. Pertama, perhatian lebih pada sektor informal, terutama yang sebenarnya sudah termasuk ke golongan ekonomi kelas menengah yang masih unbankable dan underserved.
"Sektor informal ini sedang naik bukan karena yang miskin saja, tapi karena sekarang model organisasi berubah. Orang itu lebih suka bekerja dengan banyak perusahaan, tapi tidak perlu dia menjadi pegawai tetap. Pendapatannya meningkat karena pendekatannya spesialis," ujarnya.
Oleh karena itu, kalangan sektor informal yang tidak dilirik lembaga jasa keuangan karena tidak memiliki 'pegangan', padahal memiliki pendapatan rata-rata yang bahkan bisa lebih dari Rp7,5 juta per bulan, inilah yang mesti dirangkul.
"Kedua, buat kalangan ini juga, mereka kurang tertarik dengan iuran. Begitu punya uang, begitu mau masuk asuransi atau investasi maunya sekaligus, maka rasanya perlu ada pengembangan produk asuransi untuk mengakomodasi sektor ini," tambahnya.
Baca Juga
Berikutnya, bagaimana merangkul milenial yang masih meraba-raba dalam melakukan pengelolaan asetnya, serta kalangan menengah atas yang kecenderungannya lebih menekankan kenyamanan layanan.
"Itu dari sisi perseorangan. Kalau dari sisi bisnis, asuransi juga punya potensi di [teknologi finansial/fintech] peer-to-peer lending. Karena sekarang ini kan kecenderungannya masih banyak risiko. Ini bisa dimasuki asuransi kredit yang sekarang ini baru ada di bank-bank besar, dan belum tanda-tanda mau menjajaki area fintech," ujarnya.
Menurut Aviliani, produk ini memiliki potensi karena usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang notabene baru sanggup menjadi nasabah fintech, ke depannya akan terdorong menjadi supply chain dengan perusahaan besar.
Inilah kenapa asuransi di ranah supply chain tersebut atas kredit yang mereka ajukan ke fintech lending notabene aman daripada asuransi kredit yang diajukan UMKM secara mandiri.
"Ini masih belum tertangani industri asuransi. Bagaimana caranya? Mungkin premi bisa jadi paket karena segmen ini biasanya kalau dipisah-pisah, melihatnya bayar banyak. Jadi bisa dipaket misalnya bunga kredit sudah premi asuransi. Jadi pengembangan produk dan kerja sama jadi kunci dalam konteks ini," jelas Aviliani.
Terlebih, Aviliani mengutip kajiannya bersama Perbanas, menjelaskan bahwa pada 2030 persentase transaksi lewat perbankan hanya akan tersisa 55 persen saja dibandingkan kini yang masih 78 persen.
Inilah kenapa kini banyak lembaga sektor keuangan yang membentuk ekosistem, termasuk asuransi di dalamnya, menanggapi pendapatan dan literasi masyarakat kelas menengah yang membaik.
Oleh sebab itu, Aviliani menyarankan bahwa era pandemi ini merupakan momentum industri asuransi untuk konsolidasi dan edukasi, demi menghadapi kondisi dan potensi pasar ke depannya pascapandemi Covid-19.