Bisnis.com, JAKARTA - Badai pandemi Covid-19 tahun ini telah meluluhlantakkan perekonomian global. Semua pelaku usaha, termasuk perbankan, mau tak mau melakukan penyesuaian kinerja dengan cepat agar tetap bertahan.
Awalnya, banyak pihak yang berharap tahun ini membawa perbaikan kinerja fungsi intermediasi. Terlebih, sebelum corona datang, perdagangan dunia nampak sedikit rileks.
Ekonomi dalam negeri pun sebenarnya diharapkan dapat memberi multiplier efek lebih besar dengan banyak investasi di sektor konstruksi, infrastruktur, dan manufaktur.
Namun, rendah gunung tinggi harapan. Semua rencana tersebut tak dapat diwujudkan. Pandemi virus corona, yang awalnya terjadi China, mulai merebak ke Tanah Air dan memukul sektor perekonomian.
Pertumbuhan kredit yang awalnya sempat baik pada kuartal pertama 2020, tetapi sontak turun, bahkan hampir tidak tumbuh secara tahunan pada akhir kuartal ketiga tahun ini.
Upaya pre-emtive yang dilakukan pun sebenarnya beragam baik dari otoritas pengawas, maupun pemerintah serta anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) lain, yakni BI dan LPS.
Adapun, relaksasi paling ampuh yang saat ini dikeluarkan oleh OJK adalah POJK No.11/2020. Perbankankan bersama lembaga jasa keuangan lain diperbolehkan untuk melakukan restrukturisasi tanpa harus menggolongkan kredit tersebut dalam loan at risk.
Hal ini tentu akan membantu sektor keuangan, khususnya perbankan, yang harus memberi relaksasi berupa penundaaan bunga dan pokok, dan bahkan penurunan suku bunga kredit, sambil memupuk pencadangan sesuai dengan ketentuan PSAK 71.
Dari sisi likuiditas, otoritas pengawas pun memperbolehkan liquidity to coverage (LCR) dan net stable funding ratio (NSFR) bagi bank umum kelompok usaha (BUKU) III, BUKU IV, dan bank asing serendah-rendahnya 85 persen.
Demi sedikit meringankan beban operasional, perbankan pun diizinkan menyisihkan beban pengembangan sumber daya manusia kurang dari 5 persen.
Dalam masa pandemi ini, upaya OJK tersebut dibarengi dengan langkah dari stakeholder lainnya.
Pengunjung gerai Slik menunggu panggilan petugas Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Rabu (5/2/2020). Bisnis/Abdurachman
Misalnya saja pemerintah menempatkan dana di bank pelat merah, bank daerah, atau bank wasta mana pun yang mau mengajukan. Bahkan dengan langkah countercyclical-nya, pemerintah memperluas memperbanyak beban subsidi bunga plus penjaminan.
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pun sudah mampu mengambil peran sebagai lembaga resolusi semi murni, yakni dengan penempatan dana pada bank yang membutuhkan dana jangka pendek dari aset dana yang dimilikinya.
Meski melalui banyak proses, Bank Indonesia pada akhirnya mulai menunjukkan langkah yang lebih rileks dan memberi pelonggaran dalam penyaluran pinjaman likuiditas jangka pendek (PLJP).
Dari sinergi tersebut, stabilitas sektor keuangan, terutama perbankan bisa terjaga di tengah masa pandemi. Hal ini terlihat dari beberapa indikasi, misalnya rasio permodalan bank atau capital adequacy ratio (CAR) terjaga pada level 23,39 persen pada Agustus 2020 dibandingkan kuartal II/2020 yang berada pada level 22,5 persen.
Kecukupan likuditas perbankan ditunjukkan oleh Rasio Alat Likuid terhadap Non-Core Deposit (AL/NCD) per 14 Oktober 2020 yang menguat jadi 153,6 persen, naik daripada posisi kuartal II/2020 yang sebesar 122,59 persen.
Rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga (AL/DPK) pada kuartal III/2020 berada pada 32,88 persen dibandingkan dengan kuartal II/2020 yang sebesar 26,24 persen.
Pertumbuhan Dana pihak ketiga (DPK) perbankan per Agustus 2020 adalah sebesar 11,64 persen YoY sedangkan penyaluran kredit hanya sebesar 1,04 persen YoY pada periode tersebut.
Terkait dengan kebijakan restrukturisasi di sektor perbankan, hingga 5 Oktober 2020 telah mencapai Rp914,65 triliun yang mencakup 7,53 juta debitur.
Secara rinci, restrukturisasi tersebut terdiri atas 5,88 juta debitur UMKM dengan nilai Rp361,98 triliun dan 1,65 juta debitur Non UMKM dengan nilai Rp552,69 triliun.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan pihaknya memutuskan untuk memperpanjang masa pemberian relaksasi restrukturisasi kredit perbankan selama setahun terhitung dari Maret 2021 menjadi Maret 2022.
Pasalnya, OJK menilai stabilitas sektor jasa keuangan tetap dalam kondisi terjaga berkat sejumlah kebijakan yang telah dilakukan termasuk pemberian restrukturisasi kredit perbankan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani (kiri) bersama Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto (tengah) dan Ketua Dewan Otoritas Jasa Keuangan Wimboh Santoso (kanan) memberikan keterangan pers terkait progam penjaminan pemerintah kepada padat karya dalam rangka percepatan pemulihan ekonomi nasional di Jakarta, Rabu (29/7/2020). Bisnis
Tak hanya itu, perpanjangan POJK 11/2020 mengenai restrukturisasi hingga 2022 akan memberikan ruang lebih leluasa bagi bank untuk menjaga laporan keuangan dan debitur dalam mengatur cash flow. Perpanjangan restrukturisasi ini pun dinilai akan diikuti dengan pemulihan ekonomi yang terus akan meningkat progressnya.
Perpanjangan POJK tersebut menekankan pada penilaian kemampuan dan prospek usaha debitur yang berpotensi mendapatkan perpanjangan restrukturisasi. Perbankan dinta melakukan penilaian kepada semua debiur yang akan mendapatkan perpanjangan.
"Mengingat masih dibutuhkannya kebijakan lanjutan, POJK 11/2020 punya peran penting untuk berikan ruang leluasa," katanya dalam Konferensi Pers Perkembangan Kebijakan dan Kondisi Terkini Sektor Jasa Keuangan, Senin (2/11/2020).
Sampai akhir kuartal ketiga tahun ini, Wimboh mengakui kinerja perbankan masih tertekan hingga kuartal ketiga tahun ini. Hanya saja, tren pertumbuhan kredit secara bulanan sudah mulai membaik.
Menurutnya, insetif dari pemerintah berupa penjaminan kredit sangat membantu debitur korporasi dan UMKM untuk cepat merealisasi rencana bisnisnya akhir tahun ini.
"Kredit bisa tumbuh sampai 3 persen sampai akhir tahun ini. Kalau ekonomi sudah mulai bergerak, maka [debitur] korporasinya akan bergerak, dan diikuti dengan [debitur] UMKM," katanya
Wimboh melanjutkan pihaknya terus berkerja sama dengan pemerintah dan lembaga terkait untuk dapat terus mendorong pertumbuhan kredit.
"Bagaimana pun perbankan menginginkan pertumbuhan kredit karena pendapatannya berada dari penyaluran kredit."
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah Redjalam berpendapat POJK 11 merupakan relaksasi paling ampuh yang dapat diambil otoritas pengawas.
Tanpa relaksasi tersebut, rasio kredit bermasalah perbankan akan terkerek tinggi sehingga menggerus modal dari perbankan itu sendiri. Tak hanya itu, rasio NPL yang tinggi bisa menggerus kepercayaan masyarakat yang membuat permasalahan likuiditas dari tahun lalu menjadi lebih parah.
"Bagaimana pun sumber masalah utama dalam menghadapi krisis itu adalah kredit macet. OJK mengatasi dengan kebijakan yang tepat. Kalau tidak ada relaksasi itu, kesehatan perbankan kita bisa jebol," katanya.
Piter pun menyampaikan kesehatan perbankan masih dalam kondisi yang sangat aman baik dari sisi likuiditas maupun permodalan.
Karyawan merapikan uang di cash center Bank BNI, Jakarta, Selasa (11/2/2020). Bisnis/Himawan L Nugraha
"Hal ini pun perlu menjadi sebuah indikator keberhasilan dari OJK dalam mengawasi industri perbankan yang menjadi penopang pertumbuhan ekonomi riil," sebutnya.
Meski demikian, Piter tetap memberi catatan berupa sisi ketegasan dari otoritas pengawas. Pasalnya, masalah sektor perbankan yang timbul di masa pandemi merupakan akumulasi dari dosa-dosa pengurus bank-bank dalam pengawasan intensif (BDPI) pada tahun-tahun sebelumnya.
Senior Faculty LPPI Moch Amin Nurdin pun berpendapat banyak yang telah dilakukan OJK dalam antisipasi risiko-risiko di industri keuangan.
Dari sisi bankir, Presiden Direktur PT Bank Pan Indonesia Tbk. Herwidayatmo mengatakan relaksasi restrukturisasi memberi ruang cukup bagi perbankan dalam melakukan penyesuaian kualitas kredit dan modalnya. Perseroan bahkan masih mampu berkomunikasi baik dengan para debitur demi menjaga optimisme usai masa pandemi.
"Kami bahkan belum ada masuk proses litigasi. Kebijakan restrukturisasi kami sudah cukup saat ini. Apalagi, relaksasi ini diperpanjang oleh OJK."
Adapun, program restrukturisasi dan relaksasi kredit terhadap nasabah yang usahanya terdampak oleh pandemi per kuartal III/2020 sekitar 24 persen dari portofolio kredit yang diberikan Bank.
Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk. Jahja Setiaatmadja mengatakan perseroan sangat bersyukur atas program relaksasi dari regulator yang membantu perbankan dan nasabah dalam melewati masa yang sulit untuk mencapai pemulihan.
Walau demikian dia menyebutkan permasalahan utama saat ini tak lagi berada pada penanganan risiko kredit, atau pun likuiditas, tetapi lebih kepada permintaan kredit. Terlebih pendapatan perbankan Tanah Air saat masih dominan berasal dari penyaluran kredit.
Dia menyampaikan perseroan optimistis kinerja kredit akan lebih baik pada tahun depan. Hanya saja, distribusi vaksin serta tren peningkatan virus corona tetap menjadi pertimbangan ekspansi.
Tidak hanya dari sisi kebijakan restrukturisasi, Direktur Utama PT Bank Bukopin Tbk. Rivan A. Purwantono mengatakan dukungan otoritas pengawas sangat total terutama dalam proses konsolidasi. Pemerintah pun memberi peran yang tidak kalah pentingnya dalam mendukung KB Kookmin Bank untuk menjadi pemegang saham.
Adapun, dia menerangkan proses aksi korporasi penyuntikan modal baru sudah rampung. Perseroan kini lanjut ke tahap berikutnya konsolidasi antar anak usaha dan perbaikan kinerja.
"Yang perlu dilakukan saat ini adalah penataan ulang yang matang agar kinerja perseroan sekaligus anak usaha dapat lebih baik. Bukan hanya untuk tahun ini saja tetapi secara berkelanjutan," katanya.
Dia menyebutkan Kookmin Bank akan menjamin likuiditas perseroan di tengah ketidakpastian pandemi virus corona. Setelah pandemi usai, Kookmin Bank pun akan mempercepat soslialisasi debitur eksistingnya untuk menjadi nasabah dan debitur perseroan.