Bisnis.com, JAKARTA -- Saat ini masih terdapat kesenjangan antara inklusi keuangan dan penetrasi asuransi di Indonesia yang tergambar melalui Indeks Inklusi Keuangan Indonesia pada Global Financial Inclusion Index 2017. Bank Dunia menunjukkan 48,9% penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas memiliki rekening di lembaga keuangan formal dan 3,1% penduduk berusia 15 tahun ke atas memiliki mobile banking.
Menurut data Swiss Re 2016, penetrasi asuransi per kapita Indonesia sebesar 1,73% terhadap PDB. Studi MAPFRE Economic Research (2019), MAPFRE GIP 2019, Madrid, Fundación MAPFRE, berdasarkan analisis faktor-faktor ekonomi dan demografi yang menentukan pertumbuhan gap proteksi asuransi dan kemampuan masing-masing negara memperluas pasar asuransi, Indonesia berada di peringkat ke-4 untuk asuransi jiwa dan asuransi umum di antara 96 negara emerging market dan negara maju.
Negara emerging market menempatkan Turki dan Indonesia di 10 besar. Studi menunjukkan dibutuhkan waktu rata-rata 23 tahun di emerging market dan 12 tahun di negara maju untuk menjembatani kesenjangan di pasar asuransi jiwa. Adapun, di pasar asuransi umum dibutuhkan rata-rata 15 tahun untuk emerging market dan 5 tahun di negara maju. Indonesia membutuhkan 29 tahun untuk menjembatani kesenjangan di asuransi jiwa dan 25 tahun di asuransi umum.
Pertanyaannya, bagaimana menjembatani kesenjangan yang demikian lebar antara inklusi keuangan dan penetrasi asuransi? Untuk meningkatkan penetrasi asuransi melalui inklusi keuangan dibutuhkan sedikitnya empat prasyarat. Pertama, literasi keuangan yaitu pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap jasa keuangan. Literasi keuangan sangat krusial mengingat tingkat pendidikan angkatan kerja kita masih rendah. Human Development Index Indonesia 2019 mencapai 0.694.
Laporan Bank Dunia dalam Global Findex Data Base 2017 menyebutkan di Asia Timur dan Pasifik penggunaan transaksi keuangan digital meningkat pesat meski kepemilikan rekening bank stagnan. Dengan pengecualian Indonesia di mana kepemilikan rekening meningkat dari 13% menjadi 49% selama 2014—2017. Bukti-bukti menunjukkan bahwa mereka yang tidak memiliki rekening bank terkait dengan ketimpangan pendapatan dan kelompok kelompok rentan seperti anak muda, berpendidikan rendah, pengangguran dan kaum miskin di pedesaan (Sarwat Jahan cs, IMF 2019)
Kedua, tersedianya infrastruktur digital yang memadai. Terobosan program branchless bank Bank Indonesia mengintegrasikan platform telekomunikasi untuk mengatasi infrastruktur perbankan yang terbatas dan berbiaya tinggi menjadi salah satu upaya meningkatkan inklusi keuangan.
Data Bank Dunia menunjukkan sekitar 60 juta orang di Indonesia yang tidak memiliki rekening bank menggunakan gawai. Alhasil hal ini merupakan peluang yang sangat besar untuk meningkatkan transaksi keuangan melalui sarana komunikasi tersebut. BI menggagas integrasi kedua sektor itu untuk menggenjot inklusi keuangan di seluruh lapisan penduduk. Dengan branchless bank, biaya infrastruktur perbankan yang mahal dapat ditekan dan jarak dapat teratasi.
Contohnya di Ghana di mana perusahaan asuransi bekerja sama dengan operator selular memberikan santunan asuransi jiwa gratis kepada pelanggan dan satu anggota keluarga. Asuransi dapat diperoleh seterusnya bila tagihan pemakaian pulsa pelanggan mencapai jumlah minimum per bulan atau dengan menambah besar santunan asuransi dengan membayar premi. Kolaborasi operator telepon dengan micro insurance berlangsung sukses di Ghana, Zimbabwe, Tanzania, Uganda, Kenya, dan Filipina.
Studi McKinsey mengungkapkan bahwa dari 3 miliar pengguna selular di emerging market seperti Indonesia, sebanyak 1 miliar di antaranya membutuhkan jasa keuangan tapi tidak memiliki rekening bank. Analis di Lloyd of London dan Swiss Re memperkirakan di emerging market terdapat 3 miliar penduduk mampu membeli asuransi yang murah bila ditawarkan.
Indonesia menghadapi masalah ketidakseimbangan antarwilayah yang dapat diatasi dengan digitalisasi untuk menjangkau mereka yang belum memiliki rekening atau cara-cara nontradisional seperti program Laku Pandai yang digagas Otoritas Jasa Keuangan.
Ketiga, perlu ada kebijakan afirmatif dalam edukasi dan perlindungan konsumen sebagaimana diatur OJK. Inklusi keuangan melalui digitalisasi juga perlu mewaspadai kejahatan siber yang semakin meningkat. Dengan berbagai kasus gagal bayar asuransi belakangan ini timbul urgensi untuk segera mewujudkan lembaga penjamin polis yang diamanatkan UU 40/2014 tentang Perasuransian.
Keempat, meningkatkan efisiensi dan koordinasi manfaat antarberbagai progam asuransi seperti asuransi kecelakaan yang dikelola Jasa Raharja dengan BPJS Ketenagakerjaan serta BPJS Kesehatan. Namun, upaya meningkatkan penetrasi asuransi melalui inklusi keuangan menjadi ilusi jika tidak disertai dengan edukasi literasi keuangan, perlindungan konsumen serta infrastruktur digitalisasi yang memadai.
*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Rabu (9/12/2020)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel