Bisnis.com, JAKARTA - Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai literasi masyarakat terhadap teknologi finansial (tekfin/fintech) menjadi kunci untuk mengurangi dampak negatif dari maraknya pinjaman online (pinjol) ilegal.
Menurutnya, maraknya pinjol ilegal merupakan bagian dari kegagalan pemerintah dalam mengantisipasi efek samping dari pemanfaatan digital ekonomi. Literasi digital dan finansial masyarakat masih rendah.
"Ini efeknya tidak main-main, ketika konsumen transaksi secara digital, fintech, e-commerce, itu mayoritas tidak baca syarat dan ketentuan yang berlaku sehingga terjebak berbagai aturan yang terjadi di kemudian hari, yang sangat merugikan dirinya," ujar Tulus dalam sebuah diskusi secara virtual, Jumat (3/9/2021).
Rendahnya literasi tersebut membuat masyarakat gampang tergoda terhadap penawaran pinjaman dengan syarat yang mudah dan tanpa jaminan. Masyarakat tidak menyadari saat bertransaksi pinjol yang menjadi jaminan adalah data pribadi.
Baca Juga : Ketua SWI: Tak Semua Pinjol Datangkan Mudarat |
---|
Menurut data pengaduan di YLKI, kata Tulus, dalam 3 tahun terakhir pengaduan banyak didominasi oleh masalah jasa keuangan, khususnya masalah pinjol. Sebanyak 70 persen dari pengaduan terkait pinjol merupakan pengaduan atas pinjol ilegal, sementara 30 persennya merupakan pengaduan atas pinjol legal yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Pemberantasan pinjol ilegal tidaklah mudah. Untuk itu, pengawasan harus dilakukan secara masif dan sinergis antara Satgas Waspada Investasi, Kepolisian, dan Kementerian Komunikasi dan Informatika. Literasi digital ekonomi masyarakat juga menjadi kunci yang harus terus didorong selaras dengan masifnya laju perkembangan digital ekonomi.
"Poinnya literasi yang jadi kata kunci. Masyarakat kita ketika dibombardir dengan digital ekonomi sebenarnya belum siap dan pemerintah juga lupa atau kurang aware terhadap proses perlindungan konsumen. Pinjol ini memang di OJK sudah banyak aturan, tapi apakah cukup, ini yang belum menjawab persoalan," kata Tulus.
YLKI juga mendorong adanya Undang-Undang yang mengatur perlindungan data pribadi untuk melindungi konsumen dari dampak negatif digital ekonomi. Tulus menilai belum adanya Undang-Undang terkait data pribadi menjadi ironi di tengah upaya pemerintah yang membuka lebar pengembangan digital ekonomi yang menggunakan basis data pribadi.