Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Usai Rights Issue, Modal Inti Bank Ina (BINA) jadi Rp2,3 Triliun

PT Bank Ina Perdana Tbk. menyatakan sebelum akhir 2021, modal inti perseroan telah sesuai dengan ketentuan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Bank Ina Perdana/bankina.co.id
Bank Ina Perdana/bankina.co.id

Bisnis.com, JAKARTA – Direktur Utama PT Bank Ina Perdana Tbk. (BINA) Daniel Budirahayu menyampaikan perseroan telah memiliki modal inti senilai Rp2,3 triliun usai melaksanakan aksi penambahan modal melalui Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) atau rights issue.

BINA telah melaksanakan periode perdagangan HMETD yang berlangsung pada 3 Desember 2021 hingga 9 Desember 2021.

Adapun, Daniel mengatakan aksi korporasi yang dilakukan perseroan 100 persen telah terserap semua dengan melampaui target (oversubscribed) sebesar 0,01 persen.

Begitupun dengan dana hasil rights issue yang sudah terkumpul sesuai harapan BINA. Dengan demikian, Daniel mengatakan bahwa sebelum akhir 2021 modal Bank Ina sudah sesuai dengan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

“Rights issue BINA 100 persen terserap semua hanya oversubscribed 0,01 persen dan modal menjadi kurang lebih Rp2,3 triliun,” kata Daniel saat dihubungi Bisnis, Senin (13/12/2021).

Berdasarkan Peraturan OJK (POJK) No. 12/POJK.03/2020 tentang Konsolidasi Bank Umum, Bank wajib memenuhi modal inti minimum yang ditetapkan oleh OJK, yakni paling sedikit Rp3 triliun. Pemenuhan modal inti dilakukan secara bertahap yakni Rp2 triliun paling lambat 31 Desember 2021 dan Rp3 triliun paling lambat 31 Desember 2022.

Jika melihat POJK tersebut, modal inti Bank Ina sudah mencapai Rp2,3 triliun yang artinya sudah memenuhi modal inti untuk 2021. Adapun dalam prospektus perseroan disebutkan bahwa dana yang diperoleh dari hasil Penawaran Umum Terbatas (PUT) III tersebut, seluruhnya akan digunakan BINA untuk modal kerja sehubungan pelaksanaan kegiatan operasional serta pengembangan usaha perseroan. Hal ini sesuai dengan strategi perseroan untuk menerapkan digitalisasi dalam proses bisnis.

Pengembangan usaha yang dimaksud merupakan pengembangan usaha yang dikategorikan sebagai operational expenditure (OPEX), di mana perseroan melakukan pengembangan digitalisasi melalui pihak ketiga.

Sementara itu, biaya IT untuk pengembangan digitalisasi, terutama untuk lisensi perangkat lunak yang bersifat subscription dan infrastruktur yang bekerja sama dengan cloud provider dan managed service provider, pembayaran dilakukan secara berkala, yakni per tahun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Rika Anggraeni
Editor : Azizah Nur Alfi
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper