Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Seberapa Penting Ekosistem untuk Bank Digital?

Persaingan bank digital Indonesia semakin semarak. Kehadiran sejumlah pemain menambah ketat kompetisi.
Ilustrasi bank digital. /blubybcadigital.id
Ilustrasi bank digital. /blubybcadigital.id

Bisnis.com, JAKARTA — Ekosistem digital dinilai memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan bisnis bank digital. Kendati demikian, ekosistem bukanlah satu-satunya penentu sebuah bank digital mampu bertahan atau tidak. 

Head of Digibank PT Bank DBS Indonesia Erline Diani mengatakan bahwa ekosistem memiliki peranan besar untuk mendukung pertumbuhan bisnis perbankan digital, namun bukan satu-satunya faktor penentu. 

“DBS Indonesia percaya sebagai bank digital bahwa pengalaman perbankan beserta penyediaan ‘best in class’ produk dan layanan untuk nasabah juga merupakan faktor penting untuk membantu nasabah mewujudkan tujuan finansial mereka,” kata Erline kepada Bisnis, Senin (30/5). 

Sekadar informasi, hingga April 2022, Bank DBS telah menyalurkan kredit sebesar 13 persen lebih tinggi dari posisi Desember 2021, sedangkan dana pihak ketiga (DPK) naik sekitar 3 persen pada periode yang sama. 

Posisi likuiditas DBS Indonesia, kata Erline, juga cukup dan baik. DBS Indonesia juga berhasil meningkatkan posisi loan to deposit ratio/LDR pada April 2022 dibandingkan dengan Desember 2021. Sayangnya, Erlin tidak menyebutkan lebih detail mengenai LDR. 

Mengenai ekosistem dan bank digital, Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Piter Abdullah mengatakan saat ini belum bisa diukur seberapa besar peran/kontribusi ekosistem dalam mendukung bisnis perbankan. Kendati demikian, dengan mengasumsikan pada masa depan semua bisnis akan berbentuk digital, maka ekosistem berpeluang memberi kontribusi besar. 

“Misalnya saja terkait credit scoring dan know you customer, bank memerlukan atau akan sangat bergantung kepada ekosistem digital,” kata Piter. 

Dia menambahkan bank yang tidak memiliki ekosistem digital pada masa depan, bakal beroperasi lebih boros dan  sulit bersaing. 

Sebagai contoh terkait penilaian kredit dan mengetahui pelanggan, tanpa ekosistem bank harus bekerja sama dengan lembaga lain yang berarti menambah biaya. 

Berbeda dengan bank yang sudah memiliki ekosistem mereka bisa melakukan analisis atau penghitungan credit scoring dengan basis data ekosistem yang dimilikinya.

“Saat ini memang ekosistem belum mutlak termanfaatkan. Tetapi persiapan ekosistem harus dilakukan sejak dini,” kata Piter.

Terpisah, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap Pulungan mengatakan keterhubungan antara layanan perbankan dengan bank ekosistem digital dinilai bukan suatu keharusan bagi bank digital. Akan tetapi jika bank ingin tumbuh lebih cepat dan menjadi besar, kehadiran ekosistem digital tak dapat ditawar.  

“Saya pikir itu bukan harga mati tetapi berperan besar,” kata Abdul.

Dia mengatakan tanpa terhubung dengan ekosistem digital, perbankan sulit untuk berkembang dan meningkatkan kapasitas atau jika ingin meningkat, membutuhkan biaya yang lebih besar dibandingkan dengan bank-bank yang memiliki ekosistem digital. 

Abdul menilai pada akhirnya bank digital perlu memiliki ekosistem agar bisa mendorong produk mereka lebih dalam ke ekosistem tersebut. 

Abdul berpendapat pertumbuhan eksponensial yang terjadi pada sejumlah perusahaan finansial teknologi, disebabkan perusahaan tersebut memiliki ekosistem yang kuat. 

“Jika bank digital tidak memiliki ekosistem maka mereka akan kembali lagi ke fungsi konvensional dan jika itu terjadi mereka akan bersaing dengan bank konvensional tidak hanya bank digital dengan ekosistemnya,” kata Abdul. 

Sementara itu, Ketua Umum Indonesian Digital Empowering Community (Idiec) M. Tesar Sandikapura berpendapat layanan yang dihadirkan bank konvensional dengan bank digital saat ini tidak terlalu jauh berbeda. 

Bank konvensional yang memiliki layanan digital dengan bank digital yang memiliki ekosistem digital, menurutnya, hampir sama. Tidak ada hal yang mendorong masyarakat untuk menggunakan bank digital, dengan ekosistemnya, kecuali promo dan bunga tinggi. 

Dengan promo dan bunga tinggi tersebut, Tesar malah khawatir ke depan nasib bank digital akan seperti perusahaan rintisan yang tengah melakukan efisiensi, salah satunya dengan memangkas SDM, agar dapat bertahan.

“Ujung-ujungnya mungkin bank digital akan seperti perusahaan rintisan dan investor mengambil keuntungan di awal atau tengah proses, karena mereka tahu bank digital tidak akan survive,” kata Tesar. 

Dia berpendapat dengan skema promo dan bunga tinggi yang ditawarkan, bank digital secara tidak langsung juga melakukan bakar duit seperti perusahaan rintisan. 

“Bebas admin, tidak biaya transfer, yang awalnya menjadi keuntungan bank konvensional dihapus oleh bank digital. Jadi sama saja seperti perusahaan rintisan free ongkir dan diskon besar-besaran,” kata Tesar. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Leo Dwi Jatmiko
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper