Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Indef: BI Harus Naikkan Suku Bunga 50 bps untuk Tahan Inflasi

Direktur Eksekutif Indef menilai BI sebaiknya menaikkan suku bunga hingga 50 basis poin.
Karyawan melintas didekat logo Bank Indonesia di Jakarta, Senin (30/12/2019). Bisnis/Abdullah Azzam
Karyawan melintas didekat logo Bank Indonesia di Jakarta, Senin (30/12/2019). Bisnis/Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA - Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan Bank Indonesia (BI) perlu menaikkan suku bunga acuan setidaknya 50 basis poin (bps) hingga akhir 2022.

“Mau tidak mau, Bank Indonesia harus memperketat likuiditas dengan meningkatkan suku bunga acuan paling tidak 50 bps untuk tahan inflasi," ujarnya seperti dikutip dari Antara, Senin (18/7/2022).

Dia menuturkan Bank sentral Amerika Serikat The Fed sudah menaikkan suku bunga sampai 100 bps hingga saat ini.
Diberitakan sebelumnya, The Fed bahkan diprediksi akan kembali menaikkan suku bunga acuan hingga 75-100 bps untuk merespons angka inflasi Amerika Serikat yang menembus 9,1 persen pada Juni 2022, tertinggi dalam empat dekade terakhir.

"Biasanya kita [Bank Indonesia] hanya separuhnya [dari The Fed] dengan konsekuensi pertumbuhan ekonomi agak melambat,” imbuhnya.

Bank Indonesia masih mempertahankan suku bunga acuan BI 7 Days Reverse Repo Rate sebesar 3,50 persen. Namun, bank sentral etapi telah menaikkan Giro Wajib Minimum (GWM) Rupiah sekitar 6,0 persen sampai 7,5 persen mulai 1 Juli 2022.

Tauhid menilai kenaikan GWM sudah berjalan hampir tiga bulan, tetapi tetap tidak bisa menahan laju uang beredar yang juga menjadi penyebab inflasi.

Sementara itu, pemerintah telah berupaya menahan laju inflasi dengan menambah anggaran untuk subsidi energi hingga Rp349,9 triliun agar masyarakat tidak terdampak langsung oleh kenaikan harga energi secara internasional.

Meski demikian, Taudih menilai pemerintah sebaiknya juga menjaga inflasi yang disebabkan oleh kenaikan harga pangan.

“Pemerintah juga perlu terus memastikan ketersediaan barang pokok, meski harganya relatif mahal, misalnya untuk produk pangan impor seperti kedelai, sapi, bawang putih, gandum, dan gula,” ucapnya.

Dia memperkirakan inflasi yang mencapai 3,19 persen secara year to date (ytd) pada Juli 2022 akan menjadi sekitar 6,5 persen hingga akhir 2022.

Menurutnya, kenaikan harga pangan dan energi dunia baik karena perang Rusia dengan Ukraina, proteksi yang dilakukan beberapa negara, maupun gangguan rantai pasok global menjadi penyebab inflasi tahun ini.

Di samping itu, nilai tukar juga mengalami pelemahan hingga 8 persen dalam 6 bulan terakhir sehingga harga produk impor semakin tinggi.

Tauhid memandang pemerintah perlu melanjutkan upaya mengendalikan inflasi yang berdampak paling signifikan terhadap pelaku usaha, juga masyarakat miskin dan rentan miskin.

“Dengan inflasi yang tinggi dan nilai tukar rupiah yang menembus Rp15.000 per dolar AS, bahan-bahan yang diimpor akan semakin mahal. Orang yang memiliki utang dalam mata uang asing juga akan semakin tinggi sehingga pelaku usaha dan masyarakat akan terdampak,” imbuhnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Newswire
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper