Bisnis.com, JAKARTA - Ekonom menilai kenaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi berisiko mendongkrak inflasi yang kemudian berdampak pada rasio kredit macet atau nonperforming loan (NPL) di sejumlah segmen kredit, salah satunya adalah ritel.
Pelemahan daya beli masyarakat karena inflasi akan membuat sektor ritel mengalami penurunan kinerja, yang berdampak pada kapasitas mereka dalam membayar cicilan.
Pengamat Ekonomi Perbankan dari Binus University Doddy Ariefianto mengatakan perbankan yang bergerak di sektor ritel, seperti UMKM, rentan terdampak oleh inflasi akibat kenaikkan harga BBM.
Kenaikkan inflasi akan berujung pada kenaikkan bunga kredit, yang mendorong potensi pertumbuhan kredit macet atau NPL. Kredit macet di sektor ritel, menurutnya, berpotensi meningkat.
“Ritel itu UMKM, perdagangan, restoran, hotel, kemungkinan nonperforming loan (NPL) di sektor itu akan terpapar dan ada kenaikan,” kata Doddy, Senin (5/9/2022).
Doddy mengatakan meski berpotensi terdampak, secara keseluruhan bank diyakini telah mewaspadai dampak tersebut. Bank-bank telah melakukan perhitungan untuk mengantisipasi kenaikkan kredit macet atau NPL. Hanya 1-2 bank saja, pendapat Doddy, yang akan kesulitan dalam menghadapi inflasi.
Dia juga menuturkan di tengah bayang-bayang inflasi yang meninggi, OJK perlu mengambil peran sebagai supervisi dan mengantisipasi kegagalan bank.
Kegagalan bank berisiko memberi dampak sistemik dan menyebabkan masyarakat tidak percaya lagi seperti yang terjadi pada 1998. Untuk mengantisipasi kegagalan tersebut, kata Doddy, OJK memiliki sejumlah alat. Salah satunya adalah relaksasi aturan perkreditan.
“Itu masih bisa dipertahankan. Itu kan banyak kepada Covid-19, tetapi bank itu memiliki cadangan. Jadi ada relaksasi yang berlaku terkait kolektibilitas,” kata Doddy.
Sementara itu, Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Piter Abdullah mengatakan ancaman NPL akibat dari kenaikan harga BBM subsidi memang ada tetapi tidak besar, selama kebijakan pelonggaran restrukturisasi kredit belum dihentikan.
“Saya kira OJK harus mempertimbangkan untuk memperpanjang kebijakan pelonggaran restrukturisasi kredit agar tidak dihentikan pada maret 2023 dan dilanjutkan hingga 2024,” kata Piter.
Adapun untuk kebijakan pemenuhan modal inti minimum, menurutnya, tetap harus diakhiri hingga akhir tahun 2022.