Bisnis.com, JAKARTA – Perusahaan reasuransi pelat merah dikabarkan sedang menyusun rencana merger. Berdasarkan perhitungan pengamat, mereka bisa menguasai pasar domestik.
Perusahaan tersebut terdiri dari PT Reasuransi Indonesia Utama (Persero) atau Indonesia Re, PT Tugu Reasuransi Indonesia (Tugure), dan PT Reasuransi Nasional Indonesia (Nasional Re).
Praktisi Manajemen Risiko dan Ketua Umum Komunitas Penulis Asuransi Indonesia (Kupasi) Wahyudin Rahman menghitung kapasitas premi reasuransi yang bisa ditampung perusahaan reasuransi BUMN gabungan tersebut bisa mencapai Rp24 triliun. Angka itu setara dengan 60% dari total pasar domestik.
"Premi reasuransi nasional saat ini diperkirakan mencapai Rp35–40 triliun per tahun. Jika merger berhasil dan entitas baru bisa menyerap 50–60% pasar domestik, maka potensi premi yang dapat dikelola berkisar Rp17–24 triliun," kata Wahyudin kepada Bisnis.com, dikutip Sabtu (5/7/2025).
Dari sisi kapasitas, Wahyudin menghitung dengan modal gabungan sekitar Rp2,8–3 triliun pascapenyehatan, perusahaan hasil merger ini diperkirakan akan bisa menyerap risiko atau retensi mencapai 3–5 kali modal sendiri, atau antara Rp9–15 triliun. Kapasitas ini nantinya akan tergantung oleh struktur manajemen risiko dan cadangan teknis yang dibentuk.
"Angka ini tentu belum optimal, tetapi merupakan langkah awal penting menuju kemandirian reasuransi nasional. Terlebih jika entitas ini mampu mendapatkan peringkat kredit yang baik dan menjadi mitra andalan industri dalam negeri," tegasnya.
Baca Juga
Dengan cakupan pasar domestik yang diperkirakan akan mendominasi pasar, Wahyudin menilai peta persaingan pasar reasuransi dalam negeri jelas akan berubah.
Menurutnya, entitas hasil merger akan menjadi pemain terbesar dari sisi aset dan kapasitas, dan hal ini akan memperkuat posisi reasuransi BUMN untuk menyerap lebih banyak retensi dari perusahaan asuransi di dalam negeri dan dapat bersaing di global.
"Namun, merger juga harus dikelola dengan prinsip tata kelola yang sehat. Jangan sampai dominasi pasar justru membuat iklim kompetisi tidak sehat. Reasuransi swasta tentu tetap punya ruang, terutama jika mampu menawarkan layanan yang lebih fleksibel, spesialisasi di lini tertentu, atau sinergi dengan mitra internasional," tegasnya.
Jika merujuk kondisi industri perasuransian sepanjang 2024, kapasitas industri reasuransi masih terbilang kecil dibanding retensi yang ada di asuransi. Dalam periode ini, premi bruto asuransi mencapai Rp545 triliun, sementara premi bruto reasuransi lokal hanya mencapai Rp24,4 triliun.
Kondisi tersebut membuat asuransi domestik masih bergantung pada reasuradur asing. Melihat kondisi ini, Wahyudin menilai urgensi peleburan tiga reasuransi pelat merah menjadi cukup penting, terutama dalam konteks defisit neraca pembayaran reasuransi yang terus melebar.
Merger tiga reasuransi BUMN juga diharapkan mampu memperkuat kapasitas domestik dan mengurangi ketergantungan pada pasar internasional. Namun, jika melihat data keuangan terakhir, Wahyudin melihat kondisi ketiga perusahaan cukup timpang.
Merujuk laporan keuangan tiga perusahaan reasuransi BUMN dalam periode 2024, Indonesia Re dan Tugure mencatatkan ekuitas positif, yakni masing-masing sebesar Rp2,52 triliun dan Rp1,52 triliun. Sebaliknya, Nasional Re mencatat ekuitas negatif, yakni Rp1,23 triliun.
"Ini perlu menjadi perhatian serius. Merger tidak bisa dilakukan begitu saja tanpa memperbaiki fundamental keuangan terlebih dahulu. Jika dipaksakan, perusahaan yang sehat bisa terbebani. Perlu ada langkah seperti penyertaan modal negara, restrukturisasi, atau skema pengelolaan aset bermasalah secara terpisah," pungkasnya.