Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rights Issue jadi Senjata Emiten Bank Mini Penuhi Modal Inti, Tepatkah?

Bank yang tidak memenuhi ketentuan modal inti minimum Rp3 triliun pada tahun ini terancam turun kasta menjadi bank perkreditan rakyat (BPR).
Karyawan beraktivitas di dekat logo PT Bank Bisnis Internasional Tbk. (BBSI) di Jakarta, Jumat (28/1/2022). )Bisnis-Suselo Jati
Karyawan beraktivitas di dekat logo PT Bank Bisnis Internasional Tbk. (BBSI) di Jakarta, Jumat (28/1/2022). )Bisnis-Suselo Jati

Bisnis.com, JAKARTA – Sederet emiten bank mini terus memacu aksi penambahan modal melalui mekanisme rights issue demi memenuhi ketentuan modal inti minimum sebesar Rp3 triliun pada tahun ini. Namun, sudah tepatkah langkah tersebut?

Akhir tahun ini menjadi tenggat waktu bagi bank-bank kecil untuk memenuhi modal inti senilai Rp3 triliun. Bank yang gagal memenuhi ketentuan tersebut, terancam turun kasta menjadi Bank Perkreditan Rakyat atau BPR.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui POJK No. 12/POJK/03/2020 tentang Konsolidasi Bank Umum mewajibkan perbankan untuk memiliki modal inti secara bertahap, yakni Rp1 triliun pada 2020, lalu naik Rp2 triliun tahun 2021, dan Rp 3 triliun pada 2022.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan merangkap Anggota Dewan Komisioner OJK Dian Ediana Rae sempat mengungkapkan bahwa masih ada 26 bank yang belum memenuhi ketentuan modal inti minimum Rp3 triliun.

Dari jumlah tersebut, sebanyak 17 bank di antaranya merupakan emiten atau perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Mayoritas emiten bank tersebut tengah berupaya memenuhi modal inti dengan menggelar aksi penambahan modal via right issue.

PT Bank Bisnis Internasional Tbk. (BBSI), misalnya, berencana menggelar aksi penambahan modal dengan hak memesan efek terlebih dahulu (PMHMETD) sebanyak-banyaknya 465 juta saham. Rencana ini pun telah disetujui oleh para pemegang saham.

Manajemen BBSI menjelaskan aksi korporasi, yang rencananya digelar pada semester II/2022 tersebut, bertujuan untuk memenuhi ketentuan modal inti minimum pada tahun ini. Selain itu, dana rights issue juga digunakan untuk mendorong kinerja penyaluran kredit perseroan.

Terkait dengan hal tersebut, Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Amin Nurdin mengatakan rencana rights issue bank-bank mini untuk memenuhi ketentuan modal inti minimum dinilai menjadi langkah tepat, tetapi kurang pas.

“Karena terkait dengan waktu serta minat investor untuk membeli saham-saham bank tersebut lantaran situasi dan kondisi hari ini,” ujar Amin kepada Bisnis, Minggu (18/9/2022).

Selain itu, Amin menyebutkan bahwa rights issue juga memerlukan pertimbangan secara matang dan tidak bisa dipersiapkan secara sesaat. Dia juga menyarankan bank untuk lebih cenderung menempuh mekanisme strategic partnership atau Kelompok Usaha Bank (KUB).  

Dihubungi secara terpisah, Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Maximilianus Nico Demus berpendapat bahwa tepat atau tidaknya rights issue bank-bank mini tergantung pada tujuan, kebijakan, serta fundamental dari perusahaan.

Oleh karena itu, aksi rights issue dinilai menjadi langkah tepat bagi emiten perbankan selama upaya tersebut selaras dengan tujuan serta fundamental perbankan. Apalagi, Nico menilai rights issue menjadi pilihan menarik bagi emiten bank di tengah tren kenaikan suku bunga acuan.

“Dari sisi investor, semua akan kembali kepada harga dan tujuan right issue dan investor tentu akan melihat fundamental dari emiten tersebut. Selama menarik, investor akan menyerap right issue tersebut.,” ujarnya

TIDAK OPTIMAL

Di sisi lain, upaya bank untuk memenuhi ketentuan modal inti minimum melalui rights issue tidak melulu berjalan mulus. Rights issue PT Bank Victoria International Tbk. (BVIC), contohnya, yang hanya ditebus 2,46 miliar dari rancangan 7,02 miliar saham.

Aksi tambah modal melalui hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD) atau rights issue sepanjang 12–26 Agustus 2022 ini menyisakan saham yang tidak ditebus sebanyak 4,55 miliar. Adapun harga pelaksanaan rights issue BVIC dipatok Rp150 per saham.

Dengan dasar perhitungan tersebut, total dana segar yang menjadi tambahan modal BVIC dalam aksi korporasi tersebut hanya mencapai Rp370,36 miliar, jauh dari target yang ditetapkan perseroan yakni sebesar Rp1,05 triliun.

Sekretaris Perusahaan Bank Victoria Caprie Ardira menyampaikan realisasi pelaksanaan HMETD BVIC sesuai dengan laporan dari Biro Administrasi Efek (BAE), yakni sebanyak 2.553.461.919 atau 2,55 miliar saham.

Jika dikalkulasikan, hasil rights issue yang dihimpun perseroan belum melampaui batas modal inti minimum. Per Juni 2022, modal inti tier 1 BVIC secara bank only sebesar Rp2,4 triliun, sementara jika ditambahkan dengan hasil rights issue modal perseroan baru Rp2,77 triliun.

Kendati demikian, Caprie mengatakan pihaknya optimistis dapat memenuhi ketentuan modal inti minimum hingga akhir 2022. “Sangat optimistis kalau modal inti Rp3 triliun,” ujarnya.

Dia mengatakan bahwa Bank Victoria akan kembali meminta persetujuan pemegang saham atas rencana penambahan modal dengan memberikan HMETD sebanyak-banyaknya 5 miliar saham baru. RUPSLB rencananya digelar pada 30 September 2022.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Dionisio Damara
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper