Bisnis.com, JAKARTA - Bank Indonesia (BI) mencatat nilai tukar rupiah sampai dengan 19 Oktober 2022 terdepresiasi sebesar 8,03 persen (year-to-date/ytd) dibandingkan dengan level akhir 2021. Namun demikian, ini relatif lebih baik dibandingkan dengan depresiasi mata uang sejumlah negara berkembang lainnya seperti India, Malaysia, dan Thailand.
Hal tersebut disampaikan Gubernur BI Perry Warjiyo dalam Pengumuman Hasil RDG Bulanan Bulan November 2022, Kamis (17/11/2022).
“Nilai tukar Rupiah sampai dengan 19 Oktober 2022 terdepresiasi 8,03 persen (ytd) dibandingkan dengan level akhir 2021, relatif lebih baik dibandingkan dengan depresiasi mata uang sejumlah negara berkembang lainnya,” kata Perry.
Adapun depresiasi mata uang sejumlah negara berkembang di Asia tercatat sebesar 10,42 persen di India, Malaysia 11,75 persen, dan Thailand 12,55 persen.
Dalam perdagangan sore ini, (17/11/2022) rupiah bertengger pada level Rp15.662 per dolar. Melemah 63 poin dari penutupan sebelumnya di level Rp15.599.
Perry menuturkan, depresiasi tersebut sejalan dengan menguatkan mata uang dolar AS dan meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global akibat pengetatan kebijakan moneter yang lebih agresif di berbagai negara. Bank sentral AS sendiri merespons tekanan inflasi dan kekhawatiran perlambatan ekonomi global dengan menaikkan bunga acuan dengan agresif.
Baca Juga
Sementara itu, indeks nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama (DXY) mencapai tertinggi 114,76 pada tanggal 28 September 2022 dan tercatat 112,98 pada 19 Oktober 2022 atau mengalami penguatan sebesar 18,10 persen (ytd) selama tahun 2022.
Untuk itu, lanjut Perry, BI kedepannya akan terus mencermati perkembangan pasokan valas dan memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah.
“[Ini] sesuai dengan bekerjanya mekanisme pasar dan nilai fundamentalnya untuk mendukung upaya pengendalian inflasi dan stabilitas makroekonomi,” ujarnya.