Bisnis.com, JAKARTA – Kenaikan suku bunga acuan atau BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) telah membuat suku bunga simpanan dan kredit perbankan perlahan merangkak naik.
Bank Indonesia (BI) mencatat suku bunga deposito 1 bulan naik 51 basis poin (bps) atau dari 2,89 persen menjadi 3,40 persen pada Oktober 2022. Sementara itu, suku bunga kredit juga mengalami peningkatan menjadi 9,09 persen dari 8,94 persen pada Juli.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan kenaikan suku bunga perbankan baik suku bunga dana maupun suku bunga kredit terjadi secara lebih terbatas karena masih longgarnya likuiditas yang dimiliki perbankan.
“Masih terbatasnya kenaikan suku bunga tersebut seiring dengan likuiditas yang masih longgar yang memperpanjang efek tunda [lag effect] transmisi suku bunga kebijakan pada suku bunga dana dan kredit,” ujarnya dalam konferensi pers, Kamis (17/11/2022).
Adapun transmisi suku bunga acuan telah mendorong peningkatan suku bunga di pasar uang. Suku bunga IndONIA pada 16 November 2022 tercatat naik 150 bps menjadi 4,30 persen, sejalan dengan kenaikan BI7DRR dan penguatan strategi operasi moneter bank sentral.
Selanjutnya, imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) untuk tenor jangka pendek membukukan peningkatan sebesar 143 bps, sedangkan imbal hasil SBN tenor jangka panjang relatif terjaga.
Baca Juga
Di sisi lain, Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 16 – 17 November 2022 kembali menaikkan suku bunga acuan kembali sebesar 50 bps menjadi 5,25 persen. Pada saat yang sama suku bunga deposit facility dan lending facility naik 50 bps menjadi 4,50 persen serta 6 persen.
“Keputusan kenaikan suku bunga tersebut sebagai langkah lanjutan front loaded, preemptive, dan forward looking untuk menurunkan ekspektasi inflasi yang saat ini masih tinggi dan memastikan inflasi inti ke depan kembali dalam sasaran 3 plus minus 1 persen lebih awal yaitu pada paruh pertama 2023,” tutur Perry.
Selain itu, juga bertujuan memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah agar sejalan dengan nilai fundamentalnya akibat kuatnya mata uang dolar AS, dan tingginya ketidakpastian pasar keuangan global di tengah peningkatan permintaan ekonomi domestik yang tetap kuat.