Bisnis.com, JAKARTA - Kehadiran Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) dinilai akan berdampak positif bagi pertumbuhan industri bank pembiayaan rakyat syariah (BPRS).
Sejumlah pasal dalam RUU yang belum lama disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tersebut diyakini dapat mengakselerasi pertumbuhan BPRS di Tanah Air.
Direktur Utama PT BPRS Harta Insan Karimah (HIK) Parahyangan Martadinata mengatakan setidaknya ada 3 hal dalam UU PPSK yang memberikan alat-alat baru untuk keberlangsungan industri BPRS, yaitu keleluasaan transaksi BPRS, hak BPRS untuk mendapatkan dana dari publik, dan penempatan modal di lembaga pendukung BPRS.
Dia mengatakan ketiga alat-alat baru BPRS tersebut perlu diperkuat dalam aturan turunannya yaitu Peraturan Bank Indonesia dalam hal aktivitas transfer dana dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
“Hal ini tentu akan memberi akselerasi baru bagi pertumbuhan BPRS ke depan,” ujar Martadinata dalam siaran pers, Sabtu (17/12/2022).
Baca Juga
Dia menuturkan, sebelumnya BPRS tidak diperkenankan bekerja sama dengan perusahaan switching dan perusahaan Pelaksana Jasa Pembayaran lainnya untuk memfasilitasi aktivitas transfer dana. BPRS hanya boleh bekerja sama dengan Bank Umum atau Bank Umum Syariah (BUS) atau Unit Usaha Syariah (UUS) saja.
Sementara itu dalam UU PPSK, kata Martadinata, lalu-lintas pembayaran dalam dunia keuangan oleh BPRS menjadi lebih longgar. Penjabaran pada pasal operasional BPRS ditambahkan bahwa BPRS dapat melakukan aktivitas transfer dana.
Pada ketentuan ini, tuturnya, sudah tidak ada monopoli Bank Umum Syariah atau UUS sebagai mediatornya. BPRS dapat memilih perusahaan jasa pembayaran lainnya yang membantu aktivitas transfer dana.
BPRS juga memiliki hak untuk mendapat modal dari publik dengan mekanisme pasar modal dalam UU PPSK.
Selain itu, kata Martadinata, dalam UU PPSK BPRS juga diperbolehkan menempatkan modal di lembaga pendukung BPRS. RUU PPSK menyebut bahwa penempatan modal oleh BPRS diperbolehkan di lembaga yang mengatasi likuiditas dan lembaga yang mendorong pengembangan teknologi serta Lembaga sertifikasi.
“Kemampuan BPRS yang tetap tumbuh dan bertahan dalam melewati berbagai masa krisis, mulai dari krisis 1998, 2002, 2008, dan pandemi Covid-19 menunjukan bahwa industri Bank Perekonomian Rakyat Syariah cukup kuat,” kata Martadinata.
Menurutnya, UU PPSK akan memberi pintu akses modal bagi Industri BPRS yang asetnya sudah hampir Rp20 Triliun. Satu persatu BPRS yang tumbang dapat diselamatkan dengan suntikan modal yang kuat dari publik.
“Kemampuan BPRS untuk berkembang di dunia digital juga terakomodir dalam UU PPSK. BPRS dapat menempatkan modal pada lembaga penunjang yang mengembangkan teknologi bagi pertumbuhan BPRS sendiri.”
Dia menuturkan ke depan, kondisi BPRS akan terus tumbuh dari 167 BPRS yang ada di seluruh pelosok Nusantara. Keleluasaan transaksi akan membuat BPRS mampu mengoptimalkan transaksi keuangan di pelosok Nusantara.
Dengan RUU PPSK, ujarnya, maka menjadi peluang bagi masyarakat Indonesia untuk mendapatkan instrumen transaksi keuangan dan investasi makin terbuka. Literasi keuangan pun akan berkembang sampai pelosok negeri.
Martadinata berpendapat tantangan selanjutnya adalah bagaimana regulator (Bank Indonesia dan OJK) memperjelas aturan turunannya sehingga menjadi katalis bagi pertumbuhan industri.
“Peluang tidak akan diperoleh ketika semua pihak beranggapan kondisi BPRS saat ini cukup adanya. Persepsi berbagai pihak dapat menjadi ancaman bagi BPRS jika kondisi sekarang dianggap cukup,” kata Martadinata.
Sekadar informasi, pada Kamis (15/12/2022), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menggelar Sidang Paripurna untuk pengesahan Rancangan Undang-Undang PPSK menjadi undang-undang.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan bahwa reformasi sektor keuangan menjadi prasyarat utama dalam membangun ekonomi Indonesia agar lebih dinamis, kokoh, mandiri dan berkeadilan.
Di sisi lain, ada 17 UU tentang sektor keuangan berusia uzur, bahkan ada yang sudah melebihi 30 tahun, salah satunya UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.